“Jadi
siapa lagi yang mau kamu tolak?. Dari potongan kamu, gak mungkin kamu bakal
nolak Rububiah al-adawiah anak pimpinan pesantren yang hafidzah itu. Sebulan
lalu zulaikha, zulaikha binti muhammmad jabal arofah juga kamu tolak. Kamu
tahukan siapa Muhammad jabal arofah itu?, miliarder yang membangun masjid megah
dikota. Dan tadi malam kamu juga menolak azizah azzahro. Muslimah idaman
seluruh laki-laki di universitas kita. Semua bidadari cantik kamu tolak,
memangnya kamu mau ama perempuan
kayak mana sih?”
“Aku
gak nolak mereka kok. Mereka yang gak bisa nerima aku.”
“Tentu
mereka nolak. Syarat kamu berat. Lagian apa ruginya sih nerima mereka,
bayangkan impian kamu masih bisa difikir belakangan.”
“ya
gak segampang itu dong mal. Kalau aku bisa nerima mereka yang luar biasa itu
menurut orang-orang. Maka agar adil mereka harus menerima aku apa adanya dalam
tanda petik menerima persyaratan ku”
“hmmm,
sudahlah. Kamu gak usah bahas lagi. semua perempuan mungkin akan
mempertimbangkan segala persyaratan, tapi mereka akan sulit menerima satu
persyaratanmu itu.”
“Ya,
itu artinya mereka gak bisa nerima aku kan?”
“Ya
Allah, apa salahnya sih itu gak dijadiin syarat buat mereka, nanti juga kalau
udah jadi istri kan itu bisa diatur.”
“Pernikahan
itu konsekwensi. Segalanya harus dispakati sejak awal. Daripada anak orang
kecewa belakangan.”
“huft.”
Jamal menghembus nafas lelahnya setelah
terlibat debat dengan tema yang sering mereka gelar. Syarat pernikahan dari
Anwar, Pria perfeksionis yang telah menolak primadona-primadona dunia berbau
syurga. Mulai dari qoriah sampai hafidzah, santriwati hingga anak pemilik
pesantren, anak juragan bahkan anak milyarderpun ia tolak. Pria yang tak tahu
diuntung memang. Dia tak kaya walau dia mapan, tampan tak berlebihan namun aura
keislaman seorang pemuda yang menjaga wudlu begitu terpancar diwajahnya. Semua
wanita yang sempat ingin hinggap dikehidupannya juga merasakan keindahan serupa
namun kandas oleh obsesi pria ini. Demikian pula diriku yang tak habis fikir.
“Emangnya
ada ya wanita mau menerima alasanmu?. Wanita mana yang bersedia menerima
permintaanmu itu?”
“Mama
ku fit, beliau mau.” Demikian pria ini menjawab. Entah bagaimana anak seperti
dia mampu meyakinkan mamanya. Permintaan yang terbilang tak biasa dan jarang
diinginkan dengan begitu yakin.
“Fit,
aku boleh nanya gak?” perkiraanku ia hendak mengubah topic namun kuladeni saja
“Kamu
mau tanya apa?”
“Kapan
kamu mau berhijab?” lagi-lagi pertanyaan ini. Entah sebagai pengalih topik pembicaraan yang bermaksud menyudutkanku atau
bagaimana. Terkadang bosan, namun juga tersindir. Kedua sahabatku sekarang
berbalik menatapku melupakan tema sebelumnya. Lagi-lagi aku tak bisa apa-apa
“nanti
deh, gampang itu.” Dalihku dengan senyum.
“Kamu
selalu bilang begitu sejak dulu, tapi sampai sekarang kamu belum juga berhijab.”
Jamal yang semula fokus menghujat anwar kini malah ikut-ikutan menyudutkan ku.
“Padahal
kamu pasti cakep banget kalau pakai hijab, apalagi hijab sempurna” anwar malah
menggodaku, hal demikian sudah biasa. Kendati dia menjaga betul adab antara
laki-laki dan perampuan, anwar seakan terbiasa memperlakuakanku seperti tadi,
menggoda dan mencandaiku. Kami teman sejak smk dulu. Kendati tak segan bercanda,
anwar tetap memperlakukanku sebagai perempuan yang bukan makhromnya.
“Kalau
aku cakep, emangnya kamu mau nikah sama aku?” kucoba imbangi candaan anwar agar
tak terkesan salah tingkah. Walau sesungguhnya aku agak tergoda oleh ucapannya
tadi.
“Mau
dong, asalkan kamu mau nerima syarat dariku” lagi-lagi itu sodorannya.
Permintaannya yang selama ini berhasil membuat mundur perempuan-perempuan alim.
“Hmmm,
mau, hehehhehe” jawabku dengan sedikit cengengesan.
“Ide
bagus, kenapa kalian berdua gak nikah aja?” Jamal nyeletuk begitu saja. Kami yang awalnya bercanda
jadi sedikit serius. Mungkin lebih tepatnya sedikit tegang. aku tak kefikiran
jika arus menikahi anwar yang meminta persyaratan berat itu. Lagian anwar tak
mungkin mau menerima ku, aku yang tak berhijab dan aura keagamaanku bukan
apa-apa jika harus dibandingkan dengan bidadari-bidadari anggun yang selama ini
ditolak anwar.
“Aku
sebaiknya pulang dulu ya. Ada janji dengan temanku.” trik melarikan diri
andalan. Aku sengaja menghindar dan menyudahi dengan cara ini. Aku makin salah
tingkah. Lagi pula sebaiknya aku tak berharap banyak. Aku bukanlah wanita yang
akan mampu mengambil hati anwar.
@@@@@@@
kamis
malam pukul 21.00, pertengahan bulan suci rhomadhan tahun 2009. Malam itu anwar
dan jamal bermaksud kerumah seseorang. Lumayan malam memang tapi inilah yang
sudah mereka janjikan dengan tuan rumah.
“Assalamu’alaiakum”
kompak kedua pemuda ini mengucap salam didepan pintu rumah.
“wa’alaikum
salam warohmatullahwabarokatuh, silahkan masuk nak, kalian sudah ditunggu
bapak” seorang perempuan paruh baya yang masih mengenakan mukenah membuka pintu
menyambut mereka dengan ramah. Merekapun segera masuk. Beliau mempersilahkan
kedua pemuda ini duduk diruang tamu yang disana ternyata sudah ada bapak yang
hendak mereka temui.
“apakabar
nak, kalian sehat?”
“sehat
pak, Alhamdulillah, perkenalkan, ini anwar yang saya pernah cerita ke bapak.”
Jamal tak berlama-lama dan langsung mengenalkan anwar pada orang tua itu. Tujuan
bertamu pada malam hari ini adalah perkara penting tentang anwar. Perkenalan
kemudian berlangsung lebih intens antara orang tua tadi dengan anwar.
“Anwar,
saya belum begitu mengenal kamu. Tapi saya yakin kamu anak yang baik. Kami akan
segera mempertemukan kamu dengannya.”
Seorang
wanita keluar dari balik tirai penyekat ruang. Dan sepertinya membuat anwar dan
jamal terkesima. Terutama jamal yang mungkin tak habs fikir bertemu dengan
wanita itu malam ini. Wanita yang tak pernah ia duga sebelumnya.
“Silahkan,
waktu diserahkan kepada kalian berdua” orang tua tadi mempersilahkan anwar dan
wanita itu untuk menggunakan waktu yang diberikan untuk saling berkenalan.
Malam ini adalah malam ta’aruf anwar dan wanita itu. Melalu janji yang sudah
dibuat jamal. Tapi kali ini berhasil membuat anwar keringat dingin. Hampir 3
menit pertama mereka tak berkata apa-apa, semua yang sudah tegang diruangan itu
kian gregetan. Bapak dari wanita itupun menegur mereka agar segera mulai. Tak
biasanya anwar gugup.
“a..aku
sudah mengenal kamu” anwar terbata-bata.
“aku
juga, sudah sangat mengenal kamu” wanita itu tak kalah gugup.
“puji
syukur kepada Allah, menjadikanmu seindah ini” luar biasa romantis. Anwar
berani berucap demikian didepan orang tua wanita itu.
“Maaf,
aku tidak seperti wanita-wanita lain sebelum ini yang pernah dirimu kenal.
Namaku tak seindah wanita-wanita sebelum ini, aku tak sekaya mereka yang datang
sebelum ini. Hijab ini baru kukenakan dihati beberapa hari ini. Aku tak seindah
bidadari-bidadari yang dulu menginginkanku, apa pantas aku mendampingimu?”
“Puji
syukur pada Allah, tuhanku satu-satunya dan tuhanku selamanya. Semua yang ia
ciptakan indah, tak kecuali dirimu yang dihadapan. Namun keindahan mutlak
milikNya, aku tak sekedar ingin menerimamu jika kau mau, namun apakah bisa kau
menerimaku dengan satu saja syarat yang kuminta?”
“Aku
siap!” jawab wanita itu langsung dan
mantap.
“Sekali
lagi aku tanyakan apa kau bersedia menerima persyaratan dariku?”
Wanita
itu diam beberapa detik, memjamkan mata sejenak dan membuka kembali, dengan
tegas ia mengatakan “wahai pemuda bernama anwar!. Aku Yanes Fitri binti Ahmad Ridwan,
bersedia menikahimu dan bersedia untuk siap menjadi janda seorang syuhada.
@@@@@@@
Sore
hari saat aku sedang didapur menyiapkan makan malam dengan ibu mertuaku. Ibunya
mas anwar. Seorang ibu yang ramah dan baik sekali. Beruntung aku menikahi mas
anwar.
“Ibu,
yanes boleh tanya gak?”
“Hmmm”
jawab ibu begitu singkat namun tak sedikit berkurang nuansa keramahannya.
“Kenapa
dengan mas anwar?, kenapa ibu bisa rela anak ibu ingin menjadi syuhada?”
“Kenapa
kamu bersedia suami kamu menjadi syuhada?” ibu malah berbalik menanyakan hal
yang sama padaku. Satu impian suamiku yang akan menjadikan aku dan ibu
kehilangannya jika impiannya benar-benar ia
wujudkan. Banyak orang yang berkoar-koar akan jihad namun aku melihat
dalamnya hati suamiku tak mungkin ia hanya sekedar berkata saja. Syahid sudah
menjadi jalan juangnya, mimpi tertingginya.
“Ketika
kamu memilihnya sebagai suami, tentu kamu sudah bisa menerima impiannya itu,
sementara impiannya tumbuh bersamaan dalam dekapan ibu. Perlahan ibu menyadari…..”
ibu terbata, katanya tersendat oleh parau yang disebabkan mengalirnya airmata
menyesakkan dadanya “karena impiannya ini ibu akan kehilangan dia”. Lanjut ibu
tak kuasa menahan air matanya. Aku bersalah telah membuka ini. Kucoba menenanggkan
mertuaku yang mulai menangis, terkoyak kembali batinnya mengenang permintaan
anaknya. permintaan anaknya yang sempat hendak ia tak ingin pedulikan. Entah
kapan entah dimana dan bagaimana. Aku dan ibu sama-sama menyadari bahwa orang
yang kami cintai itu tak akan main-main dengan impiannya. Tak sanggup kami
menolak binar matanya ketika begitu memimpikan syahid dijalan Allah. Ia telah
siap dan kami lah yang harus bersiap pula.
“Kita
tak akan kehilangan dia bu..” bisikku perlahan sambil mendekap mertuaku dari
belakang.
@@@@@
31 mei 2010. dini hari.
Aku mendapat kabar mengagetkan dari orang tuaku. Mereka menyuruhku menghidupkan
tv dan menonton breaking news yang tengah berlangsung disalah satu stasun tv
swasta. Aku tidur bersama ibu mertuaku malam itu. Sengaja aku tak membangunkan
beliau karena aku punya sedikit firasat buruk. Dan ternyata tengah malam ini
aku dipaksa bangun oleh ayahku , sebab perkara ini. Breaking news pukul 1 pagi
ini menayangkan berita tentang tentara Israel yang menyerang relawan dalam
kapal mavi marmara. Suamiku ada disana, ya Allah. Kumohon lindungi ia
Tak sedetikpun
kupalingkan mata dari layar tv. Setiap kejadian kuamati dengan teliti, update
berita kujaga hingga pagi, tak sadar subuh menjelang dan tak sadar pula
ternyata ibu ada dibelakangku.
“Ibu,
sejak kapan ibu disitu” kubertanya dalam irama agak kaget. ibu tak menjawab
namun matanya berair. Kumengetahui cemas, sedih dan hancur lebur hatinya saat
ini mengetahui anaknya benar-benar sedang jihad. Tak gampang untuk bangga
kendati memiliki anak sebagai syuhada adalah sepatutnya sebuah kebanggaan. Hati
ibu, hatiku tak lebih kini justru dikuasai takut akan kehilangan mas anwar.
Sejak dini hari hingga berhari-hari selepasnya, ibu tak henti-hentinya berdoa
sambil menangis, lebih tepatnya mungkin menangis sambil berdoa untuk
keselamatan anak semata wayangnya. Aku harus tenang, hanya aku harapan ibu saat
ini.
Berkali-kali
aku menghubungi pihak yang memberangkatkan mas anwar sebagai relawan ke Palestina,
mereka sendiri masih menanti kabar. Up-date
terakhir belasan korban tewas dan 30 lainnya luka-luka. Para korban belum
diidentifikasi. Kalut kurasa begitu mencampur aduk isi perutku. Cemas ku kini
berlebihan. Ibu tak henti-hentinya menangis. Tak hanya ibu yang menjadi
kekalutanku, namun si kecil dalam perut ini juga. Mas anwar, kau tak mungkin
membiarkan ia tak melihat mu.
“Kriiiiiing” bunyi
telpon yang selalu bordering kian sering, mudah-mudahan kali ini kabar
tentangnya.
“assalamualaikum, kali
ini aku gagal menempuh syuhada, tapi tak menyrutkanku untuk merebutnya nanti,
mungkin aku harus bersabar. Untuk dapat bercerita pada anak kita, mewariskan
apa yang kurasa, cinta yang kurasakan kepada saudara-saudaraku pada
anak-anakku” takbir kulantunkan keras bersama tangis, mas anwar selamat. Tak
kuasa kubendung bahagia, ibu bangkit memelukku. Mungkin belum saatnya mas
anwar, pulanglah dan saksikan kelahiran syuhada-syuhada berikutnya, ceritakan
padanya semangatmu. Aku ingin ia seperti mu, bercita-citakan syuhada, entah
kenapa aku begitu siap.