Muhammad
Dan Matar
(debu
pengharapan diatas sisa-sisa jasad shahd)
“Apa yang harus kita lakukan Muhammad?”
“Ku
juga belum tahu, semoga Allah memberi petunjuk” Matar tak kunjung
meredam kepalan ditangannya. Amarah dan pilu menyatu hendak meledakkan
ubun-ubun. Tangis dalam hati terus dimunajatkan bersama doa yang tiada henti
penuh harap. Ku tahu, ku hafal betul kelakuan bocah ini, sudah 3 hari ini kami
bersama diantara puing-puing reruntuhan, bersucikan tayamum dan tak beranjak
dari kehancuran ini. Muhammad saudara kecilnya
yang tak henti menangis terisak juga telah memasuki hari ketiga.
“Sudah
tiga hari matar, aku tidak bisa menahan lagi dan aku akan kesana!” tegas Muhammad penuh putus asa
“Jangan
Muhammad, kau hanya akan bernasip seperti shahd. Kita tidak bisa apa-apa selain
menunggu!” cegah matar sambil terus memantau tempat yang sejak tiga
hari ini kami pantau tanpa henti Bagai
tikus mengincar keju.
“Tidak,
aku tidakmungkin diam disini saja, aku harus kesana, aku harus menjemput
shahd.aku harus menjeput shahd!” Kembali Muhammad mempertegas dengan
teriakan membentak penuh murka.
Matar berbalik
sambil melotot mencengkram batang leher
Muhammad “Diam kau Muhammad, ini bukan saatnya bertidak bodoh, kita tidak boleh
bernasip sama seperti shahd” Muhammad
tak diam, dengan amarah kian menggila, ia berbalik mencekik dan
membanting matar hingga terbaring ditanah
dan masih dalam cekikannya.
“kenapa
, kau takut, kau tidak mau menyelamat kan shahd. Kau pengecut, pengecut kau
matar!”
“Aku
bukan pengecut….!” Teriak matar dan balas membanting Muhammad mereka
pun bergulat penuh amarah, saling banting ditanah hingga debu-debu membuat mereka
yang sudah tidak mandi berhari-hari itu kian kumal. Dua saudara itu saling
hajar dalam air mata kesedihan yang terus terurai. Ini lah saatnya aku ikut
campur dalam amarah mereka. Ku pisahkan kedua kakak beradik itu. Beruntung
walau penuh amarah, mereka adalah bocah sehingga nyaris tanpa kesulitan aku
dalam memisahkan mereka. untuk beberapa saat aku harus terus memastikan agar
mereka terus terpisah beberapa meter satu sama lain. Walau pandangan mereka
terus bertarung sengit saling bunuh mental. Muhammad sang adik yang pemberani.
Dan matar, sang matar yang jauh dari sifat mengalah. Kupastikan mereka terpisah
hingga bara amarah meredam.
Satu jam berlalu
dari saat perkelahian dua petarung. Suasana akhirnya dingin, namun habis amarah
terbit lah kesedihan yang tadi. Mereka terisak tiada henti dan memang mereka
tak henti menangis sudah 3 hari ini. Tiga hari ini.
Senja sore ini,
mulai masuk menggantikan hari. maghrib,
adzan terdengar sayup dari kejauhan daerah terisolir konflik ini. Kedua saudara
itu tanpa dikomando, mereka memang taat dan jauh dari ingkar pada panggilan
Adzan, tidak ada air disini, dan kami memang tidak mungkin menemukan air
disini. Adapun air yang tersisa hanya cukup untuk menjamin dahaga kami yang
entah sampai berapa lama tertahan disini. Dan makanan, kami dapat dari
mengorek-ngorek reruntuhan rumah keluarga Muhammad dan matar yang rubuh. Entah
sampai berapa lama persediaan itu akan bertahan pula.
Bersama Muhammad
dan matar, kami bersuci kan tayamum ketika hendak menghadapkan derita ini pada
Ilahi Robbi. Terus kupertanyakan misteri akan takdir yang telah Allah
rencanakan untuk kami yang terperangkap dan
dikelilingi maut saat ini. Kedua anak itu, bahkan berdzikir semalam
suntuk mulai dari pertigaan malam hingga subuh. Aku tak bisa tidur, karena
harus menjaga mereka yang bisa saja bertindak bodoh dan mati, mati jika
bertindak bodoh. Untuk itu aku harus tetap terjaga. Dan ini memasuki hari
keempat aku nyaris tak tidur. Saat mentari mulai muncul di ba’da subuh, aku
mencoba mengalihkan mereka dari duka mereka dan bercerita bemaksud bercanda.
“Muhammad,
matar, apa cita-cita kalian. Kalian punya cita-citakan?” aku mencoba
membuka topik hari ini, namun mereka tidak merespon begitu baik. Saling menatap
kemudian mereka tertunduk lagi dalam duka. Percobaan pertama ku gagal.
“Muhammad,
matar, kalian tahu? Waktu
aku kecil aku bercita-cita jadi seorang power
ranger, agar bisa menjadi menumpas kejahatan, tapi kata ibuku, tidak ada yang
seperti itu, aku tidak percaya, dan aku tetap ingin menjadi agar bisa menumpas
para penjahat?” Sepertinya mereka tidak mengerti dengan yang aku
bicarakan. Mungkin karena dinegeri mereka tidak ditayangkan power ranger. Lagi
pula mereka anak-anak yang penuh ketegaran dan terdidik oleh penderitaan dan
terbiasa dengan nyawa terancam. Mereka menghadapi ancaman yang jauh lebih nyata
ketimbang para power ranger. Maka percobaan kedua ku pun gagal lagi. “Kalian
tahu tidak saat aku besar dan disebut dewasa, akhirnya aku menemukan cita-cita
terbaik untuk menumpas kejahatan. Aku menjadi wartawan dan menulis untuk melawan kejahatan merek., Dan
cita-cita ku terwujud. Aku berhasil mewujudkan cita-cita ku. Lalu. Apa
cita-cita kalian?”
“Aku
hanya ingin memerdekakan negaraku, dengan memenggal seluruh kepala mereka!”
matar angkat bicara. Sebuah cita-cita menakutkan untuk seorang bocah 14 tahun.
Namun wajar, sudah sepantasnya kebencian dan dendam menyelimuti mereka. Para
bocah yang menjadi korban sneper, dan setiap detik satu diantara mereka bisa
saja mati. Pri kemanusiaan adalah mimpi
disini.
“Aku
hanya ingin menguburkan sisa jasad shahd”. Demikian Muhammad ketika
ditanyai mengenai cita-cita. Menguburkan sisa jasad shahd, sisa jasad. Ini lah
alasan mengapa kami tidak beranjak dari tempat ini. shahd, jenazah gadis kecil
itu sudah empat hari tergeletak disana. Kami tak berdaya menjemputnya untuk
dimakamkan. Dari seluruh penjuru penembak jitu sedang menjaga jasad shahd agar
tak diselamatkan. Mereka tahu kami akan datang menyelamatkan shahd yang sudah
tak bernyawa itu, mereka menjadikan shahd sebagai umpan. Sungguh kami benar-benar
menjadi tikus disini. Aku sendiri sempat mencoba untuk mengambil jasad gadis 4
tahun itu namun belum apa-apa aku di brondong peluru. Beruntung aku masih bisa
selamat. Banyak anak yang mati disini. Gugur tanpa ampun dari detik ke menit
disepanjang masa penindasan para penjajah. Sangat kejam seperti bagaimana
mereka memperlakukan shahd.
4 hari lalu sebuah
bom menghujam dan meluluh lantahkan sederetan pemukiman tempat ini. Shahd saat
itu sedang bermain. Ledakan itu membunuh shahd seketika. Namun saat ayahnya hendak
mengambilnya, brondongan peluru menghujaninya dan ia pun tertembak di kepala
dan dilarikan ke rumah sakit. Entah bagaimana keadaannya sekarang. Muhammad dan
matar lebih memilih bertahan disini. Semua orang sudah mengungsi menyelamatkan
diri dan hanya kami yang tersisa. Aku, seorang wartawan yang terjebak
dipeperangan yang tak kenal etika, dua orang bocah berusia 14 dan 12 tahun,
jasad tak terselamatkan dan sungguh miris, dihari kedua para tentara itu
melepas kan anjing mereka, yang mulai mencabik-cabik jenazah shahd. Mereka menyaksikan saudari kecil mereka tergeletak
tak bernyawa dan berhari-hari menjadi santapan anjing. Sungguh aku berkali-kali
meliput didaerah konflik dan kekejaman tak berotak sudah pasti ada. yang pasti
tidak akan ada adalah kemanusiaan dan hati nurani. sungguh kebiadaban tak
pernah mengenal batas namun sungguh, aku tidak pernah ingin menyaksikan
kekejaman seperti ini, seperti gadis kecil yang tak berdosa itu. Entah hingga
hari ke 4 ini, bagian tubuh yang mana yang masih tersisa dari jasad mungilnya.
Berhari-hari kami bertiga tak sanggup berbuat apa-apa. Tak sanggup.
Ini sebuah negeri bernama palestina
Palestina, negeri
yang berbekalkan doa, batu, dan air mata. Anak-anak ini mengukir sejarah
negerinya dengan darah. Sebuah negeri persinggahan sang Nabi, negeri para
pejuang, negeri para penyair syuhada. Kekejaman yang kan pasti berakhir dengan kemenangan
islam ini suatu saat nanti sedang menyusun cerita-cerita perih untuk dikenang
sejarah. Kekejaman yang juga sering dilupakan dunia, entah apa yang orang lain
diluar sana katakan namun inilah yang kulihat. Resolusi PBB tak lebih dari pada
kamuflase pembantaian. Yang aku tahu disini, dari apa yang aku lihat sendiri
perang itu tak pernah ada estetika. Entah mereka itu hammas, atau sipil, entah
wanita atau bahkan anak-anak tak berdosa, mereka tak lebih dari binatang bagi
tentara israel dan tanpa beban, mereka semua dibantai tentara yahudi tanpa
pandang buluh. Bagi mereka para laknat zionis tangisan bayi palestina itu tidak
ada arti apa-apa.
“Assalamualaikum.” Seorang pria datang
menghampiri kami. omar zayda, tetangga Muhammad dan matar. “Aku baru pulang dari rumah
sakit. Muhammad, matar, bersyukurlah, ayah kalian telah menjadi menjadi bagian
dari para syuhada.”
Muhammad dan matar
sontak menangis mendengar kabar yang dibawa omar zayda. Ayah mereka meninggal
setelah kritis 4 hari dirumah sakit akibat peluru yang bersarang di kepalanya. Tentang
ibu, mereka tak kalah memiliki kisah yang jauh lebih pilu, Fatimah menghilang
tanpa kabar saat berbelanja. Kabar terakhir yang beredar, tentara Israel
melakukan penculikan besar-besaran terhadap warga sipil diwilayah tepi barat
dan kabarnya pula, mereka yang diculik dibantai di suatu tempat. Menteri pertahanan
ehud barak boleh berkilah namun sejumlah fakta dan bukti kian menyibak
pelanggaran ham yang para kaum dajjal itu lakukan.
Muhammad dan matar
terus larut dalam kesedihan. Omar datang dengan maksud mengajak kedua bocah itu
untuk mengungsi, namun lagi-lagi mereka menolak. Kematian ayah mereka kian membakar
nyali. Air mata yang tak diusap itu kini bercampur amarah, kedua bocah itu
saling tatap, memberi isyarat dan mereka berdua sepaham. Dengan cepat ku
mengerti maksud konyol mereka. Tak berapa lama kemudian
“Jangan!” Aku berteriak kencang, mencoba
menghentikan kedua bocah yang bermaksud berlari keluar dari persembunyian ini.
Tak lain untuk mengambil jasad adik mereka. Beruntung omar juga sudah
memperhatikan sejak tadi, Ia menghadang di pintu dan menghentikan kedua bocah
bertubuh kecil itu. Muhammad dan matar berhasil kami kendalikan, dan kami
terpaksa mengikat dua anak yang baru saja hendak menyongsong syuhada itu agar
tidak berkelakuan konyol lagi. Sekarang tinggal memikirkan bagaimana cara untuk
pergi dari sini. Kami baru bisa beranjak menjelang fajar, karena selain di
waktu itu, kami juga akan menjadi santapan empuk penembak jitu. “Omar, kamu tahu apa yang terjadi pada adik
kecil mereka…?”
“Tentu,
shahd bukan yang pertama, sudah banyak anak-anak tak berdosa palestina yang
mereka jadikan makanan anjing-anjing mereka. Kau tidak perlu heran.” Jawab omar
“Lalu
siapa yang yang akan menjaga matar dan dan Muhammad?”
“Lalu
siapa yang menurutmu menjaga para anak yatim di penjuru gaza ini dan siapa yang
akan menjaga calon-calon yatim berikutnya?” demikian jawaban omar berikutnya.Sudah pasti,
semua akan kebingungan mencari siapa yang akan merawat anak yatim yang bertambah setiap harinya. Tapi
sangatlah bersyukur, negeri ini adalah buminya para anak-anak penggila syahid.
Tidak peduli akan kematian karena itu masalah waktu dan rahasia Allah. Dan
ditanah perjuangan ini, syahid lah yang menjadi pilihan. Mereka terbiasa dengan
lesatan peluru, mereka lawan dengan semangat batu kerikil yang mereka lesatkan
dengan ketapel. Ketika dentuman ledakan menggegerkan seluruh penjuru, maka
langkah kaki mereka akan berlarian dan melemparkan bebatuan dibarisan intifada.
Mereka adalah penikmat peluru yang mengukir sejarah negeri mereka, dengan
darah.
Pukul 02:15 waktu
jalur gaza, aku sudah semakin lelah. Hampir 5 hari aku tidak tidur secara
normal karena harus menjaga muhammad dan matar agar mereka tidak menggila
disaat seperti ini. Dalam keadaan terikat mereka tertidur lelah. Apakah dalam
lelahnya mereka bermimpi?, jika iya kuberharap mereka bermimpi tentang sebuah
tanah merdeka.
“Kau
tidur saja, anak-anak ini tidak mungkin berbuat macam-macam. Kita akan bergerak
sebelum subuh.” Omar tahu kalau aku kelelahan. Aku rasa tidak apa-apa
jika aku tidur se-jam atau dua jam. Lagi pula kedua anak itu sudah kami
amankan, kami tinggal menunggu fajar saja untuk bergerak. Kuberharap ada kisah
dihari berikutnya yang lebih baik untuk kedua anak yatim piatu ini. Aku sangat
kelelahan, demam dan lemah tubuh ini sudah ku abaikan berhari-hari sejak disini.
Aku harus manfaatkan kesempatan istirahat ini. Aku dan omar akan bergantian untuk
berjaga-jaga.
///////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////
“JGEERRRZ……..!” Sebuah
bunyi ledakan, sangat keras dan sangat dekat hingga membangunkanku. Aku sangat
kaget. pukul 03:15 waktu jalur gaza, aku baru tertidur satu jam dan harusnya
masih ada satu jam lagi sebelum kami beranjak. Tapi ledakan itu sudah membuatku
terbangun lagi dan saat aku tersadar, ku melihat omar sepertinya juga telah
terbangun. Tentu, siapa saja pasti akan terkejut dan terbangun saat ledakan
yang sepertinya hanya berjarak kurang dari 50 meter itu menggelegar.
“Omar,
mana Muhammad dan matar?” Mereka tidak berada ditempatnya, namun tali
yang mengikat mereka ada disana.
“Kita
kecolongan, mereka melepaskan diri saat kita tidur. Bahkan mereka rupanya telah
mengusik tentara yahudi itu,” ujar omar.
“Lalu
kemana mereka?” Omar tidak menjawab, hanya saja matanya terus melihat
kedepan, dan ternyata, Muhammad dan matar. Sekarang mereka ada di depan sana.
Sudah berada di antara jasad shahd dan incaran sneper. Kedua anak itu
berlindung di reruntuhan salah satu rumah sementara peluru terus saja dimuntahkan
dari laras senjata para tentara itu. Mereka hendak mengintimidasi anak-anak itu
agar keluar dari persembunyian rudal dan granat pun silih berganti menghujani
tanah-tanah negeri palestina. Namun kedua anak itu tetap disana dan bagaimana
pun mereka akan menjemput adik mereka, menjemput sisa-sisa jasad shahd.
Sungguh diluar pri
kemanusiaan. Hanya untuk dua anak kecil itu saja, mereka harus menggunakan
rudal yang mampu meluluh lantahkan tank berlapis baja. Ledakan dan ledakan
terus saling bersahutan hingga memasuki adzan subuh. Namun tak juga mengendur
serangan para tentara itu. Aku dan omar bergantian sholat untuk mengawasi terus
Muhammad dan matar disana, hingga mentari terbit, ketegangan ini masih terus berlangsung,
entah sampai kapan.
Mentari terbit,
kami gagal beranjak dari tempat ini di hari kelima. Muhammad dan matar masih
berlindung disana, sementara berondongan peluru penembak jitu masih terus
mengintai. Ya Allah, apa yang akan
terjadi. Aku terus menatap kearah Muhammad dari kejauhan 30 meter saja ini. Ia
melihat ku, kami saling tatap. Ku memberi isyarat padanya untuk kembali, namun
ia membalas dengan gelengan pasti, bahwa mereka akan menjemput shahd disana,
sementara matar tak melepas kan pandangannya dari jasad shahd yang masih 20
meter dari posisinya. Aku dan omar tak kan mungkin akan sampai ke tempat dimana
matar dan Muhammad berdiri dalam keadaan hidup. Sneper yahudi itu terlalu
tangguh, mereka akan membidik dengan tepat di kepala sekalipun kami melaju
diatas motor dengan kecepatan 50 km perjam. Apalagi kemungkinan mereka berada
dalam radius yang tidak lebih dari 100 meter. Kami akan sangat menyia-nyiakan nyawa kami yang sudah
sangat terancam ini.
Pukul 06.23 waktu palestina;
Brondongan peluru
dan hujaman bom sudah berhenti, sektar 13 menit yang lalu, namun kami masih
saja dalam ancaman. Para penembak jitu itu masih tetap mengintai sementara
anak-anak kecil seperti Muhammad dan matar akan serta merta menganggap ini
kesempatan yang tepat untuk beraksi, ku berharap kedua bocah itu jauh lebih
bijaksana dari yang kufikirkan namun aku salah. Entah ini kah yang disebut
ceroboh atau semangat jihad para jundi-jundi kecil. Muhammad dan matar, berlari
menuju jenazah shahd dengan sisa tenaga mereka.
Penantian 5 hari
ini berbuah hasil mereka sampai dihadapan shahd, di hadapan jasad shahd,
dihadapan sisa-sisa jasad shahd. Mereka
terhenti, sungguh hancur hati kedua anak itu saat mendapati keadaan sikecil shahd
dalam kondisi mengenaskan. Sangat kejam untuk ku gambarkankan, namun dari zoom
kamera ku sangat terlihat jelas. Bagaimana aku bisa menggambarkan kekejaman ini?,
shahd hanya tersisa sebagian tubuhnya
karena sebagian tubuh yang lain telah menjadi lalapan anjing-anjing yang di
lepas oleh tentara yahudi. Kaki kiri anak itu benar-benar habis tak bersisa
sementara yang kanan tinggal tulang saja. Dan anggota tubuh yang lain juga
bernasip tak kalah keji. Muhammad dan matar berdiri menatap jenazah shahd
antara tangis dan dendam. Menyaksikan adik kecil mereka yang sangat mereka
sayangi berasip begitu malang.
“Dor!!!!!!”
Muncung m85 barret kembali bernyanyi, sesuai reputasi senjata
dan kelihaian snepermaka tak diragukan lagi, ia akan menbidik tepat pada
target. Namun kali ini, target senjata canggih itu adalah matar, ia jatuh
berlutut, sambil menatap Muhammad yang kaget dan tak berkedip sedikitpun
menyaksikan kakaknya merenggang nyawa, peluru sepanjang 10 cm itu bersarang
tepat dijantungnya. Muhammad hanya punya belasan detik nyawa. Dan 5 detik
pertama itu ia gunakan untuk menyerahkan batu yang ada ditangannya kepada
Muhammad untuk melanjutkan perjuangan. Melesatkan sisa perjuangan sang kakak
melalui batu terakhir yang ia wariskan. 5 detik berikutnya ia merangkak
mendekati jenazah shahd. sungguh ketika ku menyaksikan melalui kameraku ini, mengharukan. Ini memilukan, dan
dengan masih berlutut, matar, melalui kamera ini kusaksikan mulutnya tengah
melafalkan sesuatu sambil tersenyum sambil kesakitan, lafal yang anak-anak
palestina ucap disisa nyawanya. Lantunan yang terindah para penyair syuhada.
kalimat yang ia yakini penuh dan aku sangat yakin dan tau persis apa yang ia
ucapkan .
“LA ILA HA ILLA LLAH.”
Matar tak bergerak,
ia tewas sambil berlutut dihadapan sisa-sisa jasad shahd. Dia tak kalah hingga
harus mati. kali ini yahudi tak sanggup merobohkan seorang jundi palestina
sampai ia pun mati dengan keadaan berlutut dihadapan shahd. Dan Muhammad, melanjutkan
impian-impian penjuru negerinya, dengan batu yang diwariskan semangat sang
kakak, ia berbalik karena sudah tahu persis dimana posisi penembak jitu. Dia
berlari untuk ancang-ancang dan setelah 10 meter batu yang ia genggam
dilesatkan dengan tenaga seorang bocah 12 tahun namun dengan semangat seorang
generasi perang badar. dengan segenap impian penjuru palestina, dan dengan sebuah
teriakan tentang mimpi, sambil melempar batu itu ia teriakan.
“ALLAHUAKBAR!”
Demikian batu
pertama dan terakhir muhammad di perjuangan hari ini. Diperjuangan detik-detik terakhirnya
karena setelah batu itu, ia di balas dengan brondongan peluru. Lebih dari 5
peluru. Dan ia tersungkur. namun masih ada sisa nyawa bersemayam dan Muhammad
merayap merangkak menuju kedua saudaranya yang lebih dulu syuhada tapi ia tak
kuat lagi dan berhenti. Ia syuhada bersama ke dua saudaranya. Hari ini, mereka
menyusul para syuhada cilik pelestina
yang lain,menuju tempat ya dijanjikan.
Hingga ini kucerita
kan, doa mereka terus berkumandang pilu.
Merindukan kebebasan dan kemerdekaan dari sebuah negeri anbiya, negeri
impian. Sebuah kisah anak-anak di barisan depan perlawanan. Anak-anak yang
berbekalkan do’a, batu dan air mata, mereka mengukir sejarah negerinya dengan
darah.
(diangkat dari kisah nyata, dari
saudara-saudara disana)
Oleh : saiful