“Man, rahman, Bangun
lah nak!” terdengar suara sayup. Sudah sejak lama suara ini tidak aku dengar. Irama
memanggil selembut ini berasal dari suara ibu. Sudah lama beliau tak menyapaku
lewat mimpi. Rindu sekali rasanya. Didunia nyata, beliau tak lagi bicara
denganku. Ibu harus pulang ke syurga disaat aku masih sangat kecil. Dan sejak
itu lah wajahnya, suara, dan kasih sayangnya kunikmati hanya lewat mimpi.
Seperti malam ini.
“Man,
rahman, bangun kau, mereka akan membunuh mu!” dan suara ini khas, bentakan yang
sangat terasa. Seperti dulu dan tak berubah walau dalam mimpi. Ini suara ayah,
dahsyat dan menakutkan. Saking menakutkannya setiap kali kudengarkan suara ini
aku langsung terbangun. Namun kaget bukan kepalang saat mata dan kesadaran ini
belum sempurna betul pulih, aku di kagetkan lagi oleh silaunya cahaya yang
menerpa tepat kearah mata ku. Cahaya-cahaya yang sepertinya dari lampu senter
itu memang sengaja di hantam tepat ke mataku. Saat masih dalam separuh
kesadaran, ku melihat bayang-bayang buram. Sepertinya seseorang berdiri di
depan dan belakangku dengan posisi sigap dan memegang parang.
“Blesss!” bunyi parang
menancap ke lantai rumah panggung ku, menancap 4 centi saja dari batang
laherku. Sebenarnya parang itu tepat mengarah ke kepala ini. Hanya saja reflex berhasil menyelamatkan ku,
menyelamatkanku beberapa ruas jari dari kematian. Sudah jelas, sudah jelas
sekali ini adalah perampokan. Aku sudah sepenuhnya sadar, kusadari bahwa nyawa
ini dalam bahaya. Aku dikepung dalam rumah ku sendiri. Tak ada pilihan lain
kecuali lari. Namun kemana?. Dengan segala cara ku buat mereka kalap. Saat itu
lubang yang tersisa untukku berlari hanya cerobong asap yang ada di atas
kepalaku. Dengan sigap aku melompat keatas, tingginya 2 meter lebih. Harusnya
dalam situasi senormal-normalnya, aku tak akan berhasil mencapai ketinggian itu
namun malam ini, dalam ancaman pembunuhan, aku berhasil malakukannya. Lompatan
tertinggi dalam hidupku.
“BRUG!” demikian suara
ku mendarat, aku mendarat tepat di atas tungku yang biasa aku gunakan untuk
memasak air. Tungku besar itu ada di belakang rumah. Sakitnya mendarat keras
tak aku pedulikan, tak sempat aku pedulikan. Karena aku mendarat tepat ditengah
kerumunan belasan orang. Sialnya, bahkan aku mendarat tepat di tengah tengah
mereka. parahnya pula, mereka adalah anggota perompak tadi. Dan lebih buruknya
lagi, mereka membawa parang panjang yang siap menerkamku. Sempat aku menatap
sebentar mata para pembunuh yang akan menghabisiku beberapa saat lagi dalam
gelap ini. Mereka melotot dengan bilah parang sepanjang 2 hasta. Mungkin, ini
adalah akhir dari hidupku. Sayang sekali, aku justru mati di perantauan jauh
dari tanah kelahiranku. Di negeri orang bahkan di pedalaman hutan perkebunan
sawit pulak. Tempat yang sama sekali
tak kuharap sebagai pemakamanku. Disisa-sisa waktu yang mendebarkan ini, tak ada
yang lain, bersyukur selagi masih sempat. Dan selagi dalam kesadaran yang
bercampur cemas, ku ucapkan La Ilaha Illa
Allah. Sambil teriak. Agar jelas dan pasti aku mengucapnya, diakhir
hayatku. Setelah selesai, ku pejamkan mata ini. Pasrah akan kematian yang
sebentar lagi menjemputku.
Beberapa detik,
seharusnya aku sudah di eksekusi.
Kenapa lama sekali?. Ku buka sedikit mataku yang takut ini untuk mengintip.
Namun, mereka justru menghilang entah kemana. Aku tak peduli kemana mereka
hilangnya. Ternyata nyawaku belum berakhir di detik ini. Aku pun berlari
menyelamatkan diri secepat nyawaku terancam. Ku berlari dalam gelap malam yang
tanpa cahaya, di tengah-tengah hutan ini. Sekitar 100 meter dari rumahku, ada
pohon tumbang 3 hari lalu. Akarnya yang tercabut mengkibatkan muncul semacam gowa.
Ketika siang hari tempat itu bahkan enggan didekati manusia karena mereka
takut. Mungkin saja ada ular besar yang bersemayam didalamnya. Di tengah siang
hari saja gelap bukan main, apa lagi saat malam. Namun aku tak punya pilihan,
khawatir mereka yang tadi kembali mengikutiku. Aku pun terjun kedalam gowa itu untuk
sembunyi di dalamnya.
Berlumpur, dingin dan
gelap. Demikianlah di sini, di dalam gua ini. Mungkin ini jam dua malam. Ketakutan
luar biasa masih menghantuiku. Orang-orang tadi adalah perompak, aku tak tahu
pasti bagaimana nasip dari ketiga temanku di sana. Aku rasa mereka sudah jadi
bangkai busuk besok paginya. Dan belasan orang yang tadi, mereka ternyata lari
ketakutan oleh kehadiranku. Mungkin mereka mengira aku orang bunian (hantu dalam cerita melayu).
Karena memang kehadiran ku seperti siluman, tiba-tiba berada tepat di tengah
mereka. Jelas mereka ketakutan. Dasar perompak. ternyata mereka masih bisa
ketakutan.
Ya Allah, harusnya aku
berbahagia hari ini karena esok idul fitri. Namun tak terdengar suara takbir,
karena memang tidak mungkin. Aku tinggal jauh di tengah hutan. Di areal
perebunan kelapa sawit yang jauh sekali dari kota. Kendati demikian, harusnya
kami merasakan kemenangan, bukan pembantaian seperti malam ini. Aku selamat
tapi entah bagai mana ketiga kawanku. Kami hanya tersisa 4 orang di 10 hektar
perkebunan ini. kawan-kawan yang lain sudah pergi ke banda (kota) untuk berhari raya dengan kerabat mereka. Sementara
kami yang tidak punya siapa–siapa di sini hanya menghabiskan hidup perantauan
kami di tengah hutan. Sulit sekali untuk keluar dari perkebunan karena razia TKI
illegal bisa saja menjerat kami.
Fajar terbit, ini sudah
subuh. Aku sujud seadanya. Sholat dalam keadaan berlumpur. Maafkan aku ya Allah,
hanya ini keadaan paling sempurna yang bisa kuhadapkan padaMu subuh ini, menghadapMu
dengan baju berlumpur kering. Selesai sholat aku memberanikan diri kembali
kerumah ku. Peropak-perompak itu pasti sudah pergi. Perjalanan ini ku lakukan
dengan hati-hati karena khawatir orang-orang itu justru mencariku. Dengan
mengendap-ngedap, akhirnya aku sampai dirumah. Setelah ku perhatikan
sekeliling, sepertinya aman. Segera aku masuk ke dalam rumah
Bau darah masih segar, langkah
jinjit ku ayunkan. Lantai rumah ku panggung, setiap langkah akan terasa dan
berbunyi. Khawatir mereka masih ada disini. Dan kagetnya aku saat pintu baru ku
buka. Ku lihat sakarias, bersimbah darah dan ku kira ia tak bernyawa lagi. Ia
kaku, kepalanya penuh luka sabetan. Ia tak menggubris saat ku memanggilnya.
Sudahlah, ia sudah mati. Lalu bagaimana dengan Lucas dan Karim. Di kamarnya, ku
melihat lukas, jauh lebih mengenaskan. Sama seperti sakarias ia tak bernyawa
lagi bagiku.
“Tolong aku….” Suara parau,
terbata, dan kehausan. Karim, ia hidup. Ia tak beda menggenaskannya dibanding
kedua kawan kami tapi ia bernyawa. Kepalanya hancur bahkan aku melihat tulang
tengkoraknya. Segera ku gendong karim, aku keluar rumah untuk menyelamatkannya.
Sebaiknya aku ke kebunnya haris. dengan darah yang terus mengalir dari
kepalanya, karim yang sekarat ini kugendong dipundakku. Semoga ia selamat. ku
harus menggendongnya 3 kilo meter dari rumah ku. Berjalan naik turun bukit dan
sepanjang bukit hanya hutan saja, Ku tempuh perjalanan dengan berlari di tengah
kelaparan dan kehausan. Berharap orang sekarat di punggung ku bernasip baik.
“Tok tok tok..! “ kuketuk
pintu rumah haris. Sepertinya bujang pemalas ini belum bangun karena ini libur
idul fitri. di sini sepi, seperti di perkebunan ku. Semua pekerja yang punya
kerabat sudah pergi ke banda. Haris
tidak mungkin pergi karena ia sama seperti ku, tak punya siapa-siapa di kuala lumpur. Tidak lama kemudian, ia seseorang yang
tak lain adalah haris membuka pintu. Sesuai dugaanku, dia baru bangun saat aku
memanggilnya. Tapi ia jelas kaget dengan orang nyaris tewas yang ku bawa. Dia
bahkan kaget luar biasa sampai-sampai ia terjatuh.
“Mayat siapa yang kau
bawa man?” tanya haris dengan merinding. Aku rasa ia akan ngompol.
“Ini karim, cepat bantu
aku, kita urus dia.”
“Karim, kenapa dia?”
Tanya haris yang sudah mulai menangis.
“Kami dirompak semalam.
Cepat bantu aku!” segara karim kami baringkan. Haris membersihkan lukanya, haris
bahkan muntah berkali-kali karena kondisi karim yang mengenaskan bukan main.
“Di mana toke (bos) mu?” tanya ku pada haris. Semoga toke nya bisa
membantu kami.
“Dia belum datang,
mungkin sebentar lagi. Dia bilang akan mengantarkan makanan untukku”
“semoga ia bisa bantu
kita nanti” ucapku pada haris, setelah itu kami hanya diam dalam bingung. Tak
tahu apa yang harus kami lakukan pada karim. Semua lukanya sudah kami bersihkan
tapi kami tidak mengerti bagaimana mengurus orang sekarat dengan luka sabetan
benda tajam seperti ini. Karim hanya diam, mulutnya terkunci tak bisa melakukan
kontak apapun dengan kami. Matanya hanya melotot saja. Kadang aku mengira ia
sudah mati. Tapi jantungnya masih berdetak saat ku pegang dadanya. Ya Allah, ku
mohon bantu dia, bantu kami.
Tak lama setelah itu,
sebuah mobil van berhenti di depan
rumah. Itu tokenya haris, segera aku
yang membuka pintunya. Tapi ia kaget bukan main, karena saat itu kondisiku
menjijikkan, berlumpur dan bercampur darah. Toke
saja sampai lari melihatku. Dia lari ke van
nya dan hendak pergi lagi tapi buru-buru
haris mencegatnya
”tidak apa bos, dia
abang saya. Kami butuh bantuan” haris mencoba menjelaskan pada toke nya. Seharusnya tadi bukan aku yang
membuka pintu.
“Dia mau minta bantu
apa?” Tanya toke pada haris.
“Masuk dulu cik (bapak dalam dialog melayu), kita
bicara di dalam saja” sambil menggiring toke
nya ke dalam rumah.
“apa-apaan ini? “ toke
melotot sambil teriak. Jelas dia bingung melihat karim.
“Semalam kami di serang
perompak, Semua kawan ku sudah mati, tinggal kami berdua dan dia sekarat.” Aku
mencoba menjelaskan pada toke.
“Buat apa kau bawa orang
sekarat ini ?” kata toke.
“bantu kami obati dia”
demikian yang ku ucapkan pada toke. Ku
ucapkan sambil mencekik batang leher toke,
aku mungkin akan menghabisinya kalau saja ia menolak untuk membantu kami.
“Ba.. baik lah, cepat
bikin air panas!” seperti nya toke sadar
kalau saja ia menolak pasti batang lehernya sudah ku patahkan. Aku harus
mencari bantuan, mungkin aku akan ke tempat latif, 11 hektar dari sini. Kutitipkan
karim pada haris dan tokenya dan aku
beranjak. Perjalanan ku tempuh dengan berlari dan ketika lelah ku berjalan,
setelah itu berlari lagi. Di tengah kelaparan dan dahaga juga kelelahan.
Sampailah aku diatas
bukit, satu lembah lagi aku sampai di perkebunan sawit tempat latif bekerja. Tapi
dari atas bukit itu aku sudah bisa melihat ada latif disana. Aku sudah lelah
sekali untuk sekedar turun lagi ke lembah itu,
“latiiiiiiiiif !”
terikaku dan jelas sekali terdengar. Latif sadar dan langsung matanya menangkapku.
Dia tahu itu aku dan dengan teriakan ku lanjutkan lagi “latif’ karim dibunuh
perompak, tadi malam kami diserang!” mendengar itu, dari kejauhan kulihat latif
melempar semua alat kerja nya dan berlari kearahku. Aku hanya berlutut kelelahan
menanti ia sampai ke bukit ini.
“Dimana karim?” tak
berlama-lama, aku dan latif kembali ke tempat dimana karim di rawat. Latif tahu
aku kelelahan, sesekali ia menawarkan untuk menggendongku tapi ku menolaknya
karena aku lumayan menjunjung tinggi harga diri yang harus aku selamatkan ini.
Di perjalan kami juga menemukan orang bugis, kabar tentang perampokan semalam
ku beri tahu padanya, Sakarias adalah orang bugis, Semoga jenazah nya bisa di
selamatkan orang sekampungnya.
Latif sangat murka
ketika melihat kondisi karim. Dia bahkan angkat kayu untuk menghajar orang orang
yang tadi malam merompak kami. Sudah jelas pasti yang merompak kami adalah
perantau Sumbawa dari perkebunan sebelah. Buru-buru tindakan konyol latif ku
hentikan, dengan sedikit saling banting tentunya. Latif adalah pemuda beringas
yang tak terbendung emosinya, Jarang pakai otak kalau di kuasai amarah. Tapi alhamdulillah aku berhasil menyadarkan
latif akan tindakan bodoh nya. Kami pun sama-sama merawat karim hingga malam
menjelang. Namun saat itu diluar perkiraan kami, di luar rumah berhenti dua
lori besar bermuatan orang orang berbaju hitam berikat kepala merah dan berparang.
Ya Allah, apa lagi ini? Ini kah bala maut yang Engkau kirim untuk mengakhiri
hidup kami?.
“Buka pintu nya, cepat
buka pintunya!” suara itu adalah
teriakan dari balik pintu. Dilubang dinding kulihat mereka menguasai rumah ini.
Dalam posisi siaga dan siap perang, Mengacungkan parang dalam posisi kuda-kuda.
“Latif bagaimana ini?”
Tanya ku pada latif, tapi ia hanya menggeleng. Dia, aku dan kami semua, sudah
menyadari pasti kalau kami akan mati malam ini. sayang sekali kami semua akan
berakhir disini. ”Latif. Ada kalanya kita takut mati, tapi ada waktunya
kematian itu menyenangkan” petuah ku di akhir hayat.
“Man, aku tidak takut
mati, ayo kita habisi paling tidak patahkan leher mereka” dengan mengangkat
kayu yang tadi hendak ia gunakan menyerang kawanan Sumbawa.
“Haris, jaga karim
apapun yang terjadi, sampai gak bisa
sama sekali. Biar mereka yang diluar kami yang urus!” haris hanya seorang
remaja tanggung. Usinya saat itu masih 17 tahun saat bersama sama kami merantau
ke Malaysia. Dia hanya bisa menangis mendengar ucapanku. Tak tahu harus
bagaimana, dia tidak akan berani bergabung bersamaku dan latif untuk meladeni 40an
pasukan perang di luar. “Latif, ketika aku buka pintu, siapa saja yang kau lihat,
habisi ia dengan kayu itu, setelah itu kita main sama-sama.” perintah ku pada
latif dan ia mamahaminya. Ketika pintu kubuka, dengan beringasnya latif
langsung merobohkan satu orang yang berada di depan pintu. Sekilas kulihat
orang itu patah tangannya. Setelah merubuhkan orang itu, latif melanjutkan
pertarungan dengan orang lain. Dan ia menemukan musuh yang seimbang dengan
keberingasannya. Seorang berbadan besar dan tinggi, Pergulatan mereka
berlangsung seru. Aku baru saja keluar rumah, kuladeni siapa saja yang mendekat
dengan tangan kosongku. Aku tak perlu pilih kawan atau lawan karena aku hanya
berdua dengan latif meladeni 40 orang. Kami sudah pasti mati. Kami hanya
menikmati cara kami mati dengan melawan
mereka. Setidaknya aku punya akhir hayat yang keren. Namun haris sepertinya ketakutan, ia berlari keluar dari
rumah tak menghiraukan perintah ku untuk menjaga karim. Ia berlari ke bukit ufuk
timur dan sesampai diatas, dengan tangis dan gemetar, ia mengumanfangkan azan.
“Allahu akbar,
Allahuakbar!” haris terus melantun kan azannya. Berkumandang dengan suara
tangisnya. Tindakannya berhasil mengambil perhatian orang-orang ini dan mereka
terdiam.
“Ya Allah, muslim
garaka” artinya ya allah, mereka anak-anak muslim dalam bahasa buton, ternyata
mereka orang buton. Ya ampun, Mereka ini sekutu kami. Ku hentikan pergulatan ku
dengan mereka segera kupeluk orang tua tadi.
“Ya pak, kami anak anak
muslim,” sambil menangis kuucapkan. Ya Allah, asma mu telah menyelamatkan kami,
terima kasih. Azan berkumandang itu menambah usia kami. Namun ku saksikan latif
dan lawan beratnya masih bergulat disana. Saling bating dan hajar. Aku berlari
untuk melerai mereka, menjelaskan kejadian dan hingga suasana dingin kembali.
“Biar karim kami yang
bawa ke hospital (rumah sakit),
mungkin tak lama nanti polis (polisi) akan datang untuk minta keterangan
kalian.” Mereka pun pergi membawa karim ke hospital.
Sebenarnya mereka datang untuk menolong kami, hanya saja kami salah faham
dengan cara mereka yang salah. Mereka membawa parang dan style nya ala pasukan
perang. Jelas kami takut, namun alasan mereka melakukan itu semua karena takut
juga. Karena kebiasaan kami orang flores yang mereka tahu adalah kejam dan tak
pakai otak. mereka membawa parang hanya untuk melindungi dirinya. Padahal
flores dan buton adalah sekutu. Aku dan latif kembali kerumah ku. Kata
orang-orang buton itu, polisi akan datang kesana bersama tokeku, untuk mengambil keterangan. Mereka juga bilang kami tidak
boleh membersihkan rumah. Karena akan dijadikan barang bukti. Kami hanya boleh
menunggu disana dan tidak boleh bertindak macam macam.
Sesampai di rumahku,
aku hanya termenung meratapi nasip di idul fitri ini, Aku tetap menang karena
masih tetap hidup. Sementara latif masih dikuasai emosinya. Apalagi saat
mendengar suara dari perkebunan sumbawa. Perkebunan kami tidak saling jauh,
hanya saling bersebelahan, mungkin hanya terpaut 50 meter. Saat kami tertimpa
musibah yang luar biasa ini, mereka justru sedang hura-hura. Seakan tanpa dosa telah
membantai kami tadi malam.
Flores dan Sumbawa
memang sudah sejak lama terlibat dalam perselisihan. Perang disana-sini antara
perantau tak lain adalah ulah suku Sumbawa dan flores. Entah kenapa dinegeri
orang pun mereka berulah, tak seharusnya permusuhan yang entah sejak kapan ini
dipelihara. Tak hanya di Malaysia, bahkan dimanaun tempatnya di Indonesia,
kedua suku ini terus terlibat dalam sentiment berkepanjangan. Aku pun heran
kenapa padahal kalau seandainya kami bisa berdamai, tentu tak aka nada
kejadian-kejadian memalukan ini.
“Aku akan membunuh
mereka man!. aku mau kesana.” Kata latif sambil angkat parang yang ia ambil
dari dapur, aku sudah lelah menghentikan tindakan tololnya.
“Ya sudah silahkan,
tapi aku tak akan menjemput mayatmu” mendengar ucapan ku latif bukannya
berhenti tapi malah makin mantap melangkah keluar rumah. “Ya Allah, hentikan
anak bodoh itu,” ucapku dalam hati. Tak lama kemudian ia masuk lagi sambil berlari.
“Man ada yang datang!”
kata latif dengan tergesa-gesa sambil menutup pintu lalu mengintip dari celah.
Ku mohon jangan katakan kalau nyawa kami dalam bahaya lagi, kurasa sudah cukup.
Maghrib baru saja menjelang aku bahkan belum sholat, tapi lagi-lagi bahaya
sudah datang menghampiri untuk kesekian kalinya. Aku dan latif hanya saling
tatap. Kami sudah paham dengan apa yang harus kami lakukan bantai semua musuh.
“buka pintu, mane orang flores tuh, tunjukan muke kau orang. Keluarlah
aku. katanye kalian suka makan kepale
orang, makan kepale saye kalau kau oran nak makan” suara yang terdengar sangat melayu sekali, jelas suara ini mengancam kami. Dia hendak
membunuh kami. Saat ku intip dari celah dinding, ternyata hanya satu orang. Bertubuh
tinggi yang menurut taksiranku nyaris 2 meter, tegap dan kekar. Wajahnya tamil,
hitam. Siapa sebenarnya dia. Dia tidak terlihat seperti Sumbawa, dia malah
terlihat seperti india tamil. Tapi buat apa dia datang dan mau membunuh kami.
“Latif, biar yang ini
aku duluan hadapi, setelah itu kita makan dia sama-sama.” Latif mengangguk
menanggapi perintah ku. Sesuai aba-aba, dia mebuka pintu dan ku layangkan tinju
sekeras-kerasnya tapi sayang sekali aku malah dibantingnya. Dibating dan
terlempar nyaris 10 meter, Sakit sekali, dia pasti atlit judo. Bantingannya
luar biasa sakit. Dia melemparku sejauh ini, dan aku mendarat tepat dihadapaan
dua orang dan salah satunya aku kenal. Dia tokeku.
Amarah ku memuncak, Aku bangkit dan menghajar toke ku hingga hidung nya patah “kemana saja kau bangsat” serapahku
pada toke. Aku muak sekali dengan
tingkah nya. Entah kemana saja dia saat anak buahnya nyaris jadi bangkai semua.
Sementara di belakangku, latif juga sudah dilumpuhkan oleh orang yang tadi
membantingku. Rupanya toke datang, bersama dua orang polisi. Mereka datang
untuk olah tkp dan mengambil keterangan dari kami, terutama aku yang merupakan
saksi kuncinya.
“Bagaimana awak (kamu) bisa
selamat, sementara kawan awak kenak
rogol (rampok) semua?” Tanya
seorang polisi kepadaku, dan aku menjelaskan kronologinya.
“Saya keluar dari
lobang itu” sambil menunjuk lobang angin tempat ku lompat tadi
“Bagaimana mungkin, awak tak temberang (bohong) kan?” polisi itu tak percaya. Aku saja tidak percaya bagaimana aku
bisa keluar dari lubang yang hanya sebesar lingkar pinggang ku. Setidaknya aku
akan sedikit tersangkut jika mau lolos. Tapi bahkan aku keluar dari lubang dengan
begitu mulus dan tak merusak lubang itu sedikitpun “bagaimana awak bisa terbangun?”
kembali polisi itu bertanya padaku.
“Ayah saya yang
membangunkan saya” polisi itu hanya tersenyum mereka sudah tahu biang ulah dari
ini semua. Investigasi ini hanya untuk mengumpulkan foto-foto dan bukti.
Setelah itu, aku dan rekan rekan akan di deportasi ke Indonesia.
Aku kembali ke sana?. Dulu
aku pergi dari Indonesia karena tidak mungkin bisa hidup disana. Sebelumya di
negaraku, aku bekerja di batam sebagai tenaga buruh kasar. Aku menggali parit
di proyek pembangunan bandara udara yang
nanti akan di beri nama bandara Hang Nadim Batam. Sekarang sudah sangat megah.
Tak kusangkan dulu paritnya aku lah yang menggali. Dan aku juga masih ingat
bagaimana pahitnya aku mengerjakan beberapa jalan raya di batam. Upahku hanya
tak sampai 200 rupiah sehari, sementar di Malaysia aku bisa di gaji 12 ringgit sehari
di tahun 1982 itu besar sekali. Sebulan aku bisa beli motor. Sementar di
indonesia negaraku sendiri, sehelai pakaian dalam pun tak terbeli.
Apa aku harus kembali
ke Negara ku?, lalu aku mau jadi apa, saat hampir dideportasi aku kabur dan
kembali pada toke \ku di perkebunan
kelapa sawit. Sebaiknya aku terancam oleh perang suku di Malaysia. menjadi tki
gelap dan terancam razia sepanjang aku berada di Malaysia. Tapi kalau aku tetap
di negaraku, aku mau jadi apa? makan apa? dan dengan cara apa aku hidup?. kalau
seandainya bisa hidup disana, aku tak akan ke Malaysia untuk bekerja. Tapi
Negara ku tidak bisa menjamin hidupku.
bagus..terus berkarya :)
BalasHapussemangat menulis
iya mbak, makasih buat semangat nya
Hapusjgn lupa terus perbaiki EYDnya pul,
BalasHapuskata penghubung, penggunaan huruf kapital, kata sambung, letak titik koma tanda tanya, dsb. :D
masih acak adut soalnya ~0~
hehehhehe, iya mbak, aku juga udah beli bukunya, sungguh sungguh kan aku
Hapus