teman ipul

Rabu, 12 Desember 2012

Malaysia 1982




“Man, rahman, Bangun lah nak!” terdengar suara sayup. Sudah sejak lama suara ini tidak aku dengar. Irama memanggil selembut ini berasal dari suara ibu. Sudah lama beliau tak menyapaku lewat mimpi. Rindu sekali rasanya. Didunia nyata, beliau tak lagi bicara denganku. Ibu harus pulang ke syurga disaat aku masih sangat kecil. Dan sejak itu lah wajahnya, suara, dan kasih sayangnya kunikmati hanya lewat mimpi. Seperti malam ini.
            “Man, rahman, bangun kau, mereka akan membunuh mu!” dan suara ini khas, bentakan yang sangat terasa. Seperti dulu dan tak berubah walau dalam mimpi. Ini suara ayah, dahsyat dan menakutkan. Saking menakutkannya setiap kali kudengarkan suara ini aku langsung terbangun. Namun kaget bukan kepalang saat mata dan kesadaran ini belum sempurna betul pulih, aku di kagetkan lagi oleh silaunya cahaya yang menerpa tepat kearah mata ku. Cahaya-cahaya yang sepertinya dari lampu senter itu memang sengaja di hantam tepat ke mataku. Saat masih dalam separuh kesadaran, ku melihat bayang-bayang buram. Sepertinya seseorang berdiri di depan dan belakangku dengan posisi sigap dan memegang parang.
“Blesss!” bunyi parang menancap ke lantai rumah panggung ku, menancap 4 centi saja dari batang laherku. Sebenarnya parang itu tepat mengarah ke kepala ini. Hanya saja reflex berhasil menyelamatkan ku, menyelamatkanku beberapa ruas jari dari kematian. Sudah jelas, sudah jelas sekali ini adalah perampokan. Aku sudah sepenuhnya sadar, kusadari bahwa nyawa ini dalam bahaya. Aku dikepung dalam rumah ku sendiri. Tak ada pilihan lain kecuali lari. Namun kemana?. Dengan segala cara ku buat mereka kalap. Saat itu lubang yang tersisa untukku berlari hanya cerobong asap yang ada di atas kepalaku. Dengan sigap aku melompat keatas, tingginya 2 meter lebih. Harusnya dalam situasi senormal-normalnya, aku tak akan berhasil mencapai ketinggian itu namun malam ini, dalam ancaman pembunuhan, aku berhasil malakukannya. Lompatan tertinggi dalam hidupku.
“BRUG!” demikian suara ku mendarat, aku mendarat tepat di atas tungku yang biasa aku gunakan untuk memasak air. Tungku besar itu ada di belakang rumah. Sakitnya mendarat keras tak aku pedulikan, tak sempat aku pedulikan. Karena aku mendarat tepat ditengah kerumunan belasan orang. Sialnya, bahkan aku mendarat tepat di tengah tengah mereka. parahnya pula, mereka adalah anggota perompak tadi. Dan lebih buruknya lagi, mereka membawa parang panjang yang siap menerkamku. Sempat aku menatap sebentar mata para pembunuh yang akan menghabisiku beberapa saat lagi dalam gelap ini. Mereka melotot dengan bilah parang sepanjang 2 hasta. Mungkin, ini adalah akhir dari hidupku. Sayang sekali, aku justru mati di perantauan jauh dari tanah kelahiranku. Di negeri orang bahkan di pedalaman hutan perkebunan sawit pulak. Tempat yang sama sekali tak kuharap sebagai pemakamanku. Disisa-sisa waktu yang mendebarkan ini, tak ada yang lain, bersyukur selagi masih sempat. Dan selagi dalam kesadaran yang bercampur cemas, ku ucapkan La Ilaha Illa Allah. Sambil teriak. Agar jelas dan pasti aku mengucapnya, diakhir hayatku. Setelah selesai, ku pejamkan mata ini. Pasrah akan kematian yang sebentar lagi  menjemputku.
Beberapa detik, seharusnya aku sudah di eksekusi. Kenapa lama sekali?. Ku buka sedikit mataku yang takut ini untuk mengintip. Namun, mereka justru menghilang entah kemana. Aku tak peduli kemana mereka hilangnya. Ternyata nyawaku belum berakhir di detik ini. Aku pun berlari menyelamatkan diri secepat nyawaku terancam. Ku berlari dalam gelap malam yang tanpa cahaya, di tengah-tengah hutan ini. Sekitar 100 meter dari rumahku, ada pohon tumbang 3 hari lalu. Akarnya yang tercabut mengkibatkan muncul semacam gowa. Ketika siang hari tempat itu bahkan enggan didekati manusia karena mereka takut. Mungkin saja ada ular besar yang bersemayam didalamnya. Di tengah siang hari saja gelap bukan main, apa lagi saat malam. Namun aku tak punya pilihan, khawatir mereka yang tadi kembali mengikutiku. Aku pun terjun kedalam gowa itu untuk sembunyi di dalamnya.
Berlumpur, dingin dan gelap. Demikianlah di sini, di dalam gua ini. Mungkin ini jam dua malam. Ketakutan luar biasa masih menghantuiku. Orang-orang tadi adalah perompak, aku tak tahu pasti bagaimana nasip dari ketiga temanku di sana. Aku rasa mereka sudah jadi bangkai busuk besok paginya. Dan belasan orang yang tadi, mereka ternyata lari ketakutan oleh kehadiranku. Mungkin mereka mengira aku orang bunian (hantu dalam cerita melayu). Karena memang kehadiran ku seperti siluman, tiba-tiba berada tepat di tengah mereka. Jelas mereka ketakutan. Dasar perompak. ternyata mereka masih bisa ketakutan.
Ya Allah, harusnya aku berbahagia hari ini karena esok idul fitri. Namun tak terdengar suara takbir, karena memang tidak mungkin. Aku tinggal jauh di tengah hutan. Di areal perebunan kelapa sawit yang jauh sekali dari kota. Kendati demikian, harusnya kami merasakan kemenangan, bukan pembantaian seperti malam ini. Aku selamat tapi entah bagai mana ketiga kawanku. Kami hanya tersisa 4 orang di 10 hektar perkebunan ini. kawan-kawan yang lain sudah pergi ke banda (kota) untuk berhari raya dengan kerabat mereka. Sementara kami yang tidak punya siapa–siapa di sini hanya menghabiskan hidup perantauan kami di tengah hutan. Sulit sekali untuk  keluar dari perkebunan karena razia TKI illegal bisa saja menjerat kami.
Fajar terbit, ini sudah subuh. Aku sujud seadanya. Sholat dalam keadaan berlumpur. Maafkan aku ya Allah, hanya ini keadaan paling sempurna yang bisa kuhadapkan padaMu subuh ini, menghadapMu dengan baju berlumpur kering. Selesai sholat aku memberanikan diri kembali kerumah ku. Peropak-perompak itu pasti sudah pergi. Perjalanan ini ku lakukan dengan hati-hati karena khawatir orang-orang itu justru mencariku. Dengan mengendap-ngedap, akhirnya aku sampai dirumah. Setelah ku perhatikan sekeliling, sepertinya aman. Segera aku masuk ke dalam rumah
Bau darah masih segar, langkah jinjit ku ayunkan. Lantai rumah ku panggung, setiap langkah akan terasa dan berbunyi. Khawatir mereka masih ada disini. Dan kagetnya aku saat pintu baru ku buka. Ku lihat sakarias, bersimbah darah dan ku kira ia tak bernyawa lagi. Ia kaku, kepalanya penuh luka sabetan. Ia tak menggubris saat ku memanggilnya. Sudahlah, ia sudah mati. Lalu bagaimana dengan Lucas dan Karim. Di kamarnya, ku melihat lukas, jauh lebih mengenaskan. Sama seperti sakarias ia tak bernyawa lagi bagiku.
“Tolong aku….” Suara parau, terbata, dan kehausan. Karim, ia hidup. Ia tak beda menggenaskannya dibanding kedua kawan kami tapi ia bernyawa. Kepalanya hancur bahkan aku melihat tulang tengkoraknya. Segera ku gendong karim, aku keluar rumah untuk menyelamatkannya. Sebaiknya aku ke kebunnya haris. dengan darah yang terus mengalir dari kepalanya, karim yang sekarat ini kugendong dipundakku. Semoga ia selamat. ku harus menggendongnya 3 kilo meter dari rumah ku. Berjalan naik turun bukit dan sepanjang bukit hanya hutan saja, Ku tempuh perjalanan dengan berlari di tengah kelaparan dan kehausan. Berharap orang sekarat di punggung ku bernasip baik.
“Tok tok tok..! “ kuketuk pintu rumah haris. Sepertinya bujang pemalas ini belum bangun karena ini libur idul fitri. di sini sepi, seperti di perkebunan ku. Semua pekerja yang punya kerabat sudah pergi ke banda. Haris tidak mungkin pergi karena ia sama seperti ku, tak punya siapa-siapa di kuala  lumpur. Tidak lama kemudian, ia seseorang yang tak lain adalah haris membuka pintu. Sesuai dugaanku, dia baru bangun saat aku memanggilnya. Tapi ia jelas kaget dengan orang nyaris tewas yang ku bawa. Dia bahkan kaget luar biasa sampai-sampai ia terjatuh.
“Mayat siapa yang kau bawa man?” tanya haris dengan merinding. Aku rasa ia akan ngompol.
“Ini karim, cepat bantu aku, kita urus dia.”
“Karim, kenapa dia?” Tanya haris yang sudah mulai menangis.
“Kami dirompak semalam. Cepat bantu aku!” segara karim kami baringkan. Haris membersihkan lukanya, haris bahkan muntah berkali-kali karena kondisi karim yang mengenaskan bukan main.
“Di mana toke (bos) mu?”  tanya ku pada haris. Semoga toke nya bisa membantu kami.
“Dia belum datang, mungkin sebentar lagi. Dia bilang akan mengantarkan makanan untukku”
“semoga ia bisa bantu kita nanti” ucapku pada haris, setelah itu kami hanya diam dalam bingung. Tak tahu apa yang harus kami lakukan pada karim. Semua lukanya sudah kami bersihkan tapi kami tidak mengerti bagaimana mengurus orang sekarat dengan luka sabetan benda tajam seperti ini. Karim hanya diam, mulutnya terkunci tak bisa melakukan kontak apapun dengan kami. Matanya hanya melotot saja. Kadang aku mengira ia sudah mati. Tapi jantungnya masih berdetak saat ku pegang dadanya. Ya Allah, ku mohon bantu dia, bantu kami.
Tak lama setelah itu, sebuah mobil van berhenti di depan rumah. Itu tokenya haris, segera aku yang membuka pintunya. Tapi ia kaget bukan main, karena saat itu kondisiku menjijikkan, berlumpur dan bercampur darah. Toke saja sampai lari melihatku. Dia lari ke van nya dan hendak  pergi lagi tapi buru-buru haris mencegatnya
”tidak apa bos, dia abang saya. Kami butuh bantuan” haris mencoba menjelaskan pada toke nya. Seharusnya tadi bukan aku yang membuka pintu.
“Dia mau minta bantu apa?” Tanya toke pada haris.
“Masuk dulu cik (bapak dalam dialog melayu), kita bicara di dalam saja” sambil menggiring toke nya ke dalam rumah.
“apa-apaan ini? “ toke melotot sambil teriak. Jelas dia bingung melihat karim.
“Semalam kami di serang perompak, Semua kawan ku sudah mati, tinggal kami berdua dan dia sekarat.” Aku mencoba menjelaskan pada toke.
“Buat apa kau bawa orang sekarat ini ?” kata toke.
“bantu kami obati dia” demikian yang ku ucapkan pada toke. Ku ucapkan sambil mencekik batang leher toke, aku mungkin akan menghabisinya kalau saja ia menolak untuk membantu kami.
“Ba.. baik lah, cepat bikin air panas!” seperti nya toke sadar kalau saja ia menolak pasti batang lehernya sudah ku patahkan. Aku harus mencari bantuan, mungkin aku akan ke tempat latif, 11 hektar dari sini. Kutitipkan karim pada haris dan tokenya dan aku beranjak. Perjalanan ku tempuh dengan berlari dan ketika lelah ku berjalan, setelah itu berlari lagi. Di tengah kelaparan dan dahaga juga kelelahan.
Sampailah aku diatas bukit, satu lembah lagi aku sampai di perkebunan sawit tempat latif bekerja. Tapi dari atas bukit itu aku sudah bisa melihat ada latif disana. Aku sudah lelah sekali untuk sekedar turun lagi ke lembah itu,
“latiiiiiiiiif !” terikaku dan jelas sekali terdengar. Latif sadar dan langsung matanya menangkapku. Dia tahu itu aku dan dengan teriakan ku lanjutkan lagi “latif’ karim dibunuh perompak, tadi malam kami diserang!” mendengar itu, dari kejauhan kulihat latif melempar semua alat kerja nya dan berlari kearahku. Aku hanya berlutut kelelahan menanti ia sampai ke bukit ini.
“Dimana karim?” tak berlama-lama, aku dan latif kembali ke tempat dimana karim di rawat. Latif tahu aku kelelahan, sesekali ia menawarkan untuk menggendongku tapi ku menolaknya karena aku lumayan menjunjung tinggi harga diri yang harus aku selamatkan ini. Di perjalan kami juga menemukan orang bugis, kabar tentang perampokan semalam ku beri tahu padanya, Sakarias adalah orang bugis, Semoga jenazah nya bisa di selamatkan orang sekampungnya.
Latif sangat murka ketika melihat kondisi karim. Dia bahkan angkat kayu untuk menghajar orang orang yang tadi malam merompak kami. Sudah jelas pasti yang merompak kami adalah perantau Sumbawa dari perkebunan sebelah. Buru-buru tindakan konyol latif ku hentikan, dengan sedikit saling banting tentunya. Latif adalah pemuda beringas yang tak terbendung emosinya, Jarang pakai otak kalau di kuasai amarah. Tapi alhamdulillah aku berhasil menyadarkan latif akan tindakan bodoh nya. Kami pun sama-sama merawat karim hingga malam menjelang. Namun saat itu diluar perkiraan kami, di luar rumah berhenti dua lori besar bermuatan orang orang berbaju hitam berikat kepala merah dan berparang. Ya Allah, apa lagi ini? Ini kah bala maut yang Engkau kirim untuk mengakhiri hidup kami?.
“Buka pintu nya, cepat buka pintunya!”  suara itu adalah teriakan dari balik pintu. Dilubang dinding kulihat mereka menguasai rumah ini. Dalam posisi siaga dan siap perang, Mengacungkan parang dalam posisi kuda-kuda.
“Latif bagaimana ini?” Tanya ku pada latif, tapi ia hanya menggeleng. Dia, aku dan kami semua, sudah menyadari pasti kalau kami akan mati malam ini. sayang sekali kami semua akan berakhir disini. ”Latif. Ada kalanya kita takut mati, tapi ada waktunya kematian itu menyenangkan” petuah ku di akhir hayat.
“Man, aku tidak takut mati, ayo kita habisi paling tidak patahkan leher mereka” dengan mengangkat kayu yang tadi hendak ia gunakan menyerang kawanan Sumbawa.
“Haris, jaga karim apapun yang terjadi, sampai gak bisa sama sekali. Biar mereka yang diluar kami yang urus!” haris hanya seorang remaja tanggung. Usinya saat itu masih 17 tahun saat bersama sama kami merantau ke Malaysia. Dia hanya bisa menangis mendengar ucapanku. Tak tahu harus bagaimana, dia tidak akan berani bergabung bersamaku dan latif untuk meladeni 40an pasukan perang di luar. “Latif, ketika aku buka pintu, siapa saja yang kau lihat, habisi ia dengan kayu itu, setelah itu kita main sama-sama.” perintah ku pada latif dan ia mamahaminya. Ketika pintu kubuka, dengan beringasnya latif langsung merobohkan satu orang yang berada di depan pintu. Sekilas kulihat orang itu patah tangannya. Setelah merubuhkan orang itu, latif melanjutkan pertarungan dengan orang lain. Dan ia menemukan musuh yang seimbang dengan keberingasannya. Seorang berbadan besar dan tinggi, Pergulatan mereka berlangsung seru. Aku baru saja keluar rumah, kuladeni siapa saja yang mendekat dengan tangan kosongku. Aku tak perlu pilih kawan atau lawan karena aku hanya berdua dengan latif meladeni 40 orang. Kami sudah pasti mati. Kami hanya menikmati  cara kami mati dengan melawan mereka. Setidaknya aku punya akhir hayat yang keren. Namun haris sepertinya ketakutan, ia berlari keluar dari rumah tak menghiraukan perintah ku untuk menjaga karim. Ia berlari ke bukit ufuk timur dan sesampai diatas, dengan tangis dan gemetar, ia mengumanfangkan azan.
“Allahu akbar, Allahuakbar!” haris terus melantun kan azannya. Berkumandang dengan suara tangisnya. Tindakannya berhasil mengambil perhatian orang-orang ini dan mereka terdiam.
“Ya Allah, muslim garaka” artinya ya allah, mereka anak-anak muslim dalam bahasa buton, ternyata mereka orang buton. Ya ampun, Mereka ini sekutu kami. Ku hentikan pergulatan ku dengan mereka segera kupeluk orang tua tadi.  
“Ya pak, kami anak anak muslim,” sambil menangis kuucapkan. Ya Allah, asma mu telah menyelamatkan kami, terima kasih. Azan berkumandang itu menambah usia kami. Namun ku saksikan latif dan lawan beratnya masih bergulat disana. Saling bating dan hajar. Aku berlari untuk melerai mereka, menjelaskan kejadian dan hingga suasana dingin kembali.
“Biar karim kami yang bawa ke hospital (rumah sakit), mungkin tak lama nanti polis (polisi) akan datang untuk minta keterangan kalian.” Mereka pun pergi membawa karim ke hospital. Sebenarnya mereka datang untuk menolong kami, hanya saja kami salah faham dengan cara mereka yang salah. Mereka membawa parang dan style nya ala pasukan perang. Jelas kami takut, namun alasan mereka melakukan itu semua karena takut juga. Karena kebiasaan kami orang flores yang mereka tahu adalah kejam dan tak pakai otak. mereka membawa parang hanya untuk melindungi dirinya. Padahal flores dan buton adalah sekutu. Aku dan latif kembali kerumah ku. Kata orang-orang buton itu, polisi akan datang kesana bersama tokeku, untuk mengambil keterangan. Mereka juga bilang kami tidak boleh membersihkan rumah. Karena akan dijadikan barang bukti. Kami hanya boleh menunggu disana dan tidak boleh bertindak macam macam.
Sesampai di rumahku, aku hanya termenung meratapi nasip di idul fitri ini, Aku tetap menang karena masih tetap hidup. Sementara latif masih dikuasai emosinya. Apalagi saat mendengar suara dari perkebunan sumbawa. Perkebunan kami tidak saling jauh, hanya saling bersebelahan, mungkin hanya terpaut 50 meter. Saat kami tertimpa musibah yang luar biasa ini, mereka justru sedang hura-hura. Seakan tanpa dosa telah membantai kami tadi malam.
Flores dan Sumbawa memang sudah sejak lama terlibat dalam perselisihan. Perang disana-sini antara perantau tak lain adalah ulah suku Sumbawa dan flores. Entah kenapa dinegeri orang pun mereka berulah, tak seharusnya permusuhan yang entah sejak kapan ini dipelihara. Tak hanya di Malaysia, bahkan dimanaun tempatnya di Indonesia, kedua suku ini terus terlibat dalam sentiment berkepanjangan. Aku pun heran kenapa padahal kalau seandainya kami bisa berdamai, tentu tak aka nada kejadian-kejadian memalukan ini.
“Aku akan membunuh mereka man!. aku mau kesana.” Kata latif sambil angkat parang yang ia ambil dari dapur, aku sudah lelah menghentikan tindakan tololnya.
“Ya sudah silahkan, tapi aku tak akan menjemput mayatmu” mendengar ucapan ku latif bukannya berhenti tapi malah makin mantap melangkah keluar rumah. “Ya Allah, hentikan anak bodoh itu,” ucapku dalam hati. Tak lama kemudian ia masuk lagi sambil berlari.
“Man ada yang datang!” kata latif dengan tergesa-gesa sambil menutup pintu lalu mengintip dari celah. Ku mohon jangan katakan kalau nyawa kami dalam bahaya lagi, kurasa sudah cukup. Maghrib baru saja menjelang aku bahkan belum sholat, tapi lagi-lagi bahaya sudah datang menghampiri untuk kesekian kalinya. Aku dan latif hanya saling tatap. Kami sudah paham dengan apa yang harus kami lakukan bantai semua musuh.
buka pintu, mane orang flores tuh, tunjukan muke kau orang. Keluarlah aku. katanye kalian  suka makan kepale orang, makan kepale saye kalau kau oran nak makan suara yang terdengar sangat melayu sekali,  jelas suara ini mengancam kami. Dia hendak membunuh kami. Saat ku intip dari celah dinding, ternyata hanya satu orang. Bertubuh tinggi yang menurut taksiranku nyaris 2 meter, tegap dan kekar. Wajahnya tamil, hitam. Siapa sebenarnya dia. Dia tidak terlihat seperti Sumbawa, dia malah terlihat seperti india tamil. Tapi buat apa dia datang dan mau membunuh kami.
“Latif, biar yang ini aku duluan hadapi, setelah itu kita makan dia sama-sama.” Latif mengangguk menanggapi perintah ku. Sesuai aba-aba, dia mebuka pintu dan ku layangkan tinju sekeras-kerasnya tapi sayang sekali aku malah dibantingnya. Dibating dan terlempar nyaris 10 meter, Sakit sekali, dia pasti atlit judo. Bantingannya luar biasa sakit. Dia melemparku sejauh ini, dan aku mendarat tepat dihadapaan dua orang dan salah satunya aku kenal. Dia tokeku. Amarah ku memuncak, Aku bangkit dan menghajar toke ku hingga hidung nya patah “kemana saja kau bangsat” serapahku pada toke. Aku muak sekali dengan tingkah nya. Entah kemana saja dia saat anak buahnya nyaris jadi bangkai semua. Sementara di belakangku, latif juga sudah dilumpuhkan oleh orang yang tadi membantingku. Rupanya toke datang, bersama dua orang polisi. Mereka datang untuk olah tkp dan mengambil keterangan dari kami, terutama aku yang merupakan saksi kuncinya.
Bagaimana awak (kamu) bisa selamat, sementara kawan awak  kenak rogol (rampok) semua?” Tanya seorang polisi kepadaku, dan aku menjelaskan kronologinya.
“Saya keluar dari lobang itu” sambil menunjuk lobang angin tempat ku lompat tadi
Bagaimana mungkin, awak tak temberang (bohong) kan?” polisi itu tak percaya. Aku saja tidak percaya bagaimana aku bisa keluar dari lubang yang hanya sebesar lingkar pinggang ku. Setidaknya aku akan sedikit tersangkut jika mau lolos. Tapi bahkan aku keluar dari lubang dengan begitu mulus dan tak merusak lubang itu sedikitpun “bagaimana awak  bisa terbangun?” kembali polisi itu bertanya padaku.
“Ayah saya yang membangunkan saya” polisi itu hanya tersenyum mereka sudah tahu biang ulah dari ini semua. Investigasi ini hanya untuk mengumpulkan foto-foto dan bukti. Setelah itu, aku dan rekan rekan akan di deportasi ke Indonesia.
Aku kembali ke sana?. Dulu aku pergi dari Indonesia karena tidak mungkin bisa hidup disana. Sebelumya di negaraku, aku bekerja di batam sebagai tenaga buruh kasar. Aku menggali parit di proyek pembangunan bandara udara  yang nanti akan di beri nama bandara Hang Nadim Batam. Sekarang sudah sangat megah. Tak kusangkan dulu paritnya aku lah yang menggali. Dan aku juga masih ingat bagaimana pahitnya aku mengerjakan beberapa jalan raya di batam. Upahku hanya tak sampai 200 rupiah sehari, sementar di Malaysia aku bisa di gaji 12 ringgit sehari di tahun 1982 itu besar sekali. Sebulan aku bisa beli motor. Sementar di indonesia negaraku sendiri, sehelai pakaian dalam pun tak terbeli.
Apa aku harus kembali ke Negara ku?, lalu aku mau jadi apa, saat hampir dideportasi aku kabur dan kembali pada toke \ku di perkebunan kelapa sawit. Sebaiknya aku terancam oleh perang suku di Malaysia. menjadi tki gelap dan terancam razia sepanjang aku berada di Malaysia. Tapi kalau aku tetap di negaraku, aku mau jadi apa? makan apa? dan dengan cara apa aku hidup?. kalau seandainya bisa hidup disana, aku tak akan ke Malaysia untuk bekerja. Tapi Negara ku tidak bisa menjamin hidupku.

4 komentar:

  1. bagus..terus berkarya :)
    semangat menulis

    BalasHapus
  2. jgn lupa terus perbaiki EYDnya pul,
    kata penghubung, penggunaan huruf kapital, kata sambung, letak titik koma tanda tanya, dsb. :D
    masih acak adut soalnya ~0~

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehehhehe, iya mbak, aku juga udah beli bukunya, sungguh sungguh kan aku

      Hapus