Senja berakhir beriringan lambat dengan lantunan azan dari puncak
menara. Sahut-sahutan adzan dari berbagai penjuru disambut langkah kaki
berjalan mengangkat debu dipermukaan tanah. Debu terbang tak mampu lebih tinggi
dari mata kaki para umat yang rindu akan tuhannya. Kehidupan menjelang malam.
Namun belum berakhir. Geliat malam baru saja terbangun. Mataharipun berganti warna-warni lampu
mengelilingi kota tempat masjid baitusyakur tersisip
Ribuan orang barada disekitar masjid baitu syakur. Masjid dengan
rambu-rambu wajib berpakaian sopan. Rambu yang radiasinya hanya ampuh sejauh
100 meter saja. Sepenuh-penuhnya masjid ini tetap saja kurang dari 20% saja
muslim di seantero jodoh nagoya. Masjid bak ka’bah tahun 560 masehi.
Dikelilingi berhala modernisasi dan kemegahan.
Mungkin kebetulan aku terlahir dan langsung menjadi muslimah. Namun tidak kebetulan saat ini
aku bisa berjamaah karena bekerja menjaga rumah makan padang di komlplek masjid
baitusykur. Uda sangat menghargai waktu solat. Kami semua wajib solat bagi yang
tidak halangan. Kesempatan ini jarang aku dapatkan waktu aku bekerja di hotel
sebagai PR (publick relation). Iman yang senantiasa terkontaminasi oleh
ketidakpastian nasib membuatku harus berani bersikap. Dan alhamdulillah walau
sempat luntang-lantung dengan mengandalkan sisa gaji aku berhasil keluar dari
dunia lamaku.
Kini bekerja dengan menutup seluruh aurat bisa aku jalani dengan
tenang, konsistensi dan idealisme sebagai muslimah bisa aku jalankan.
Alhamdulliah. Sujud kian membuatku nyaman disini, berada disisinya dan mengadu
sejadi-jadinya pada tuhan. Mengadu dan meminta hari esok. Kedua tangan seakan
enggan turun dari menengadah. Andai saja tidak ada jam kerja. Maka seharian ini
hanya meminta dan mengemis pada sanga maha kuasa. Begitu juga dengan dia yang
disampingku,
Mawar.
Mojang bandung berparas ayu alami. Kecantikannya mengalahkan gadis
sederetan shaf jamaah muslimah. Muda dan membahayakan iman kaum pria yang
memandang lebih dari 3 detik. Melebihi aku. Doanya terlalu dalam dan begitu
dalam sampai menggali mata air kesedihan. Ada sesuatu yang ia adukan. Pemudi
piatu ini tumbuh besar bersamaku. Hari-hari kami selalu berbagi dengan keceriaan, namun
belum pernah ia membagi kesedihannya kepadaku. Dia hanya percaya tuhannya untuk
menyelesaikan segala cobaan. Kendati ia tidak pernah menolak ketika aku mengadu
rasa sakit yang kualami. Sumpah aku tidak akan menolak jika ia mau bercerita.
Tapi itulah mawar. Indah, kontras, terlindungi duri yang ditumbuhkan tuhan di
seluruh keberanian yang ada di paras ayunya.
Sudah
biasa aku melihat ia berdoa begitu dalam. Namun baru kali ini ku melihat ada
air mata jatuh membasahi sajadah. Ada luka dalam yang mungkin mengganggunya. Lama waktu Belum juga berakhir
doa panjangnya yng begitu dalam. kuputuskan ini saatnya aku menenangkan orang
yang lara ini. Kusapa melalui pundak
lemahnya. Ketika sentuhan tanganku memalingkannya segera aku berkata
”yang tenang ayu, akhiri doamu. Nanti air matamu habis. Saatnya kamu
berbagi dengan ku”.
Tawaranku membuatnya berfikir dan berfikir.
Aku sendiri tak yakin dia mau berbagi denganku dan anehnya aku pernah berfikir
orang seperti ayu hanya akan berbagi di ujung usianya.
Sudut masjid yang sepi menjadi pilihan kami
kala itu. Lama sekali kami hanya diam. Ayu masih belum begitu tenang dan aku
harus memberinya waktu lebih. Ketika kurasa waktu yang tepat telah tiba, tak
kusia-siakan dan langsungsaja tanyaku mulai mengintrogasinya
“kamu ada apa yu. Kayaknya kamu ada masalah. Ceritakan aja”
Ayu adalah panggilan ku khusus untuknya,
menggambarkan keindahan sejatinya. Mendengar tanyaku mawar hanya menggeleng dan
terus menggeleng walau aku paksa sampai akhirnya aku agak kesal dan
“kamu pikir cukup dengan Cuma merengek-rengek sama Allah !”
Kata-kataku agak kasar karena kesal melihat ayu
yang terus bungkam, namun sepertinya kata-kata ini berhasil membuatnya
berkata-kata…..
“sampai detik ini Allah belum mampu membantuku apa lagi kamu”
“PLAKZ!!!!”
Tak sadar tamparanku mendarat di pipi gadis
cantik itu. Reflex, aku saja terkejut dan sangat terkejut ketika pertama
kalinya aku menampar teman baikku itu. Khawatir bercampur penyesalan membuatku
turut merasa bersalah. Segera aku meminta maaf padanya.
“Maafkan aku yu’. Aku gak sengaja. Kamu cepat-cepat istigfar. Allah maha
sempurna. Tidak pantas kita menilai Allah seperti itu”
Merasa bersalah, ayupun melafalkan istigfar,
istigfar yang kembali ia iringi dengan tangis yang sampai kelubuk sanubarinya
yang selama ini membuat parasnya terlihat tegar. Tangisnya kembali membuat kami
hening sejenak.
10 menit kemudian ayu pun menceritakan
semuanya. Semuanya yang telah merusak ketenangan jiwanya. Tak kusangka. Aku
begitu terkejut, terpukul dan nyaris terbunuh oleh prihal yang ia sampaikan
tentang dirinya. Pantas si gadis gundah gulana. Pantas sekali ia goyang dan
goncang jiwanya. Dimana yang ia sampaikan adalah….
“na,…. Kamu pernah gak merasakan dijual bapak mu ke mucikari”
Demikian yang ia sampaikan. Cukup kalimat itu
saja, hatiku sudah runtuh dengan kenyataan hidup yang begitu pahit dari sang
mawar.
“Besok, aku akan dibanrol di hotel-hotel dengan harga jutaan, harga
seorang perawan, tapi setelah itu hargaku hanya 60.000, harga barang bekas. “
“Bapakku terpaksa menjualku, na. manusia tak punya tuhan itu ditipu
dukun pengganda uang. Aku pun ia gadaikan di mucikari.”
“Mungkin besok aku tak akan mengadu lagi padanya. Aku malu. Tak sanggup
mencari jalan keluar lain selain menjual diri. Allah pasti kecewa. “
“Sesungguhnya, na. aku ingin mempertahankan diri ini hanya untuk suamiku
kelak. Tapi laki-laki idaman takkan lagi ada untukku didunia ini. Aku ingin
mempertahankan iman ini, na. sangat ingin.”
Kembali kami terdiam, manusia biasa sepertiku
saat ini hanya bisa bungkam dan tak berarti. Sungguh sang gadis yang sebenarnya
tak ternilai harganya itu telah digadai dengan harga 50 juta untuk melunasi
utang bapaknya yang durhaka itu. Bingung bingung dan bingung sekali. Demi sang
maha kasih. Ini hanya dia dan Dia yang tahu jalannya.
“Na, kamu mau kerumahku gak. Aku mau ngasih kamu barang-baraangku. Kamu
ambil saja semua. Besok tidak akan ku pakai lagi. Ada mukenah, qur’an dan
pakaian ku. Semuanya buat kamu. Mohon kamu terima.”
Demi menghibur mawar. Aku hanya bisa mengangguk,
detik-detik penentuan seorang muslimah bergulir persis dihadapanku. Kebesaran
Allah benar-benar dinanti. Rahasia Allah terhadap mawar kian mebuat penasaran.
Allah tidak Mungkin tinggal diam, Allah pasti telah menyiapakan jalan yang
begitu lurus untuk iman gadis ayu ini. Pasti.
Kami beranjak segera. Karena waktu isya yang
sebenarnya tinggal 20 menit lagi. Kemungkinan kami akan sholat isya di kamar
ayu jika waktu habis diperjalanan.
Terlihat mawar agak tegar. Dan senyum cantiknya kembali mekar dengan
indahnya. Tak diragukan lagi dia memang mempesona. Sayang nasipnya begitu
busuk.
Saat tiba di pinggir trotoar dan hendak
menyeberang. Mawar memegang tangan ku begitu erat seakan tak mau lepas. Sambil
menanti jalanan kosong dari lalu lalang mobil dan motor yang melaju ia berkata
“saudariku, Allah pasti punya jalan untukku, dan apapun yang Ia
putuskan, tentu adalah yang terbaik. Bukan?0”
Mawar kembali tegar, aku mulai tenang dengan
ini semua. Entah kenapa kata-katanya tadi begitu kuyakini kebenarannya. Allah
pasti memutuskan yng terbaik untuk mawar. Jalanan terlihat sepi sekarang
kamipun merasa ini saatnya untuk menyeberang. Genggaman tangan kami kian erat
memastikan kami saling terlindungi.
BRUK!!!!!!.
Sebuah mobil lepas kendali dan menabrak tiang
lampu merah. Syok membuatku diam dan gemetar. Keringat dingin tiba-tiba
meluncur dari dalam jilbabku. Terasa sekali alirannya. Namun Allamdulillah aku
selamat. Begitu pula pengendara mobil naas itu. Tapi ada satu hal yang perlahan
kusadari. Tanganku melepas genggaman mawar. Ia hilang….
Ternyata mawar berada 30 meter dariku.
Terlempar begitu jauh oleh hantaman keras mobil itu. Kuterjatuh tanpa
kata-kata. Namun segera bangkit dan berlari menuju saudariku. Tidak mungkin,
tidak mungkin ini jalan keluar yang Allah siapkan untuknya.
Lariku tungggang langgang dan lemas karena
syok. Begitu lemas rasanya lutut ini, namun lutut mawar mungkinsaja lepas.
Mawar, tunggu aku ayu’.
Begitu sampai dihadapan mawar. Langsung kudekap
sisa-sinya nyawanya. Kucoba tenang agar iapun tak ketakutan. Namun tangis tak
mampu terbendung dariku. Aku meronta-ronta meneriaki namanya.
Mawar-mawar-mawar. Berkali-kali aku pastikan ia apakah masih disana. Darah
mengalir deras dari ubun-ubun yang terbentur aspal. Kaki dan tangannya jelas
sakali ada yang patah. Dari mulutnya yang ternyata masih tersenyum dihiasi
sedikit muntahan darah ia berbisik
“Ternyata, Allah memang memberiku yang terbaik. Saudariku. Berjuanglah.
Perjuangkan hargadiri dan imanmu…..la Ilaha illAllah.”
Aku sangat tidak percaya dengan peristiwa ini.
Kugoncang tubuh mawar yang telah
membisu. Matanya seakan bernyawa menatap keatas menuju langit hitam tanpa
bintang. Kugoncang dan masih kugoncang, ku pastikan masih ada sisa-sisa ruh
yang bersemayam.nsmun benar-benar percuma. Dan aku terus meronta karena tak mau
menerima kenyataan. Orang-orang mulai berdatangan. Sebagian orang memisahkan
aku dan mawar yang telah tiada. Hendak ku gapai mawar tapi orang-orang disini
lebih memilih memisahkan kami dan menenangkanku. Tak sadar tubuh ini melemah
dan pusing bukan main. Sepertinya aku akan pingsan beberapa detik lagi
mawar gugur malam itu. Gugur. Namun berhasil
menyelamatkan imannya. Dan harumnya tak kalah oleh busuknya hidup. Aku
terbaring cukup lama. Aku pingsan seharian. Bahkan tak sempat ke pemakamannya.
hari ketiga setelah kepergian gadis ayu itu. Uda masih memberiku kesempatan
libur. Ia tahu betapa terpukulnya aku. hari ini aku bermaksud ke rumah mawar. Ayahnya
tertangkap polisi kemarin. Sebelum hendak menjual mawar. Orang tua itu telah
menjual lebih dari 20 orang gadis ke singapura. Rumah kosong itu dititipkan
pada tetangga. Sesuai amanah mawar sebelum kepergiannya. Ia hendak memberikan
seluruh yang ia miliki kepada ku. Tapi tak akan ku ambil. Aku berniat untuk
menjaga kamar mawar, membersihkan , merapihkan. Karena bagiku ketegaran gadis
itu masih disini. Masih mendiami celah-celah sempit yang dilintasi oleh
harapan. Semangat yang terus dibingkai iman sampai ajal menjemput.
Saat kamar itu ku buka. Kurasakan mawar disana.
Harumnya dan hembusan nafasnya. Gadis
yang tak henti ku kagumi. Kurasa masih duduk didepan meja rias. Memakai jilbab
dan bedak. Tak kusangka auratnya terjaga hingga akhir hayat walau hampir saja
terjual murah. Meja rias yang akan lama kesepian. Kehilangan bidadari yang
senantiasa menjaga dirinya dihadapan cermin ini.
Ada selembar kertas diatas meja rias, seperti
kertas binder. Penasaran tak membiarkanku tak membaca lembaran itu. Ternyata ini
curahan isi hati mawar yang ia khusus kan padaNya. Begitu tulus ia tuliskan.
Sanggup aku rasakan betapa berharapnya ia pada yang maha esa.
Allah
Aku seorang wanita
Kenapa harus menjadi wanita?
Benarkah aku makhluk lemah?
Aku merasa menjadi umpan buaya diatas sebuah
papan rapuh
Akan kah ku terjaga oleh kasihmu.
Yakinkan aku
Agar hijab senantiasa melindungi dari fitnah
dan durjna
Aku takut menjadi lemah. Lindungi aku dengan
ketebalan iman yang kau beri ya Azis.
Hanya Kau yang bisa. Menjaga hati ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar