teman ipul

Minggu, 09 Desember 2012

sepucuksurat cinta sang pemberontak




Semua orang duduk dengan senyap. Tak sepatah kata pun keluar diantara bibir-bibir membisu itu. satu ekspresi seragam, takut. Sepertinya baru saja ada kejadian disini. Berbeda dengan yang lain. Ada satu raut wajah disana yang penuh amarah. Dan tinggal  meledak saja. yang lain dengan cemas bagai menanti bencana. Senyap yang sudah berlangsung sekian menit, hampir 13 menit. Setelah aku masuk kedalam rumah. Masuk kedalam rumah setelah seharian menghilang.
Aku pergi seharian. Menenangkan diri disuatu tempat, kala rumah ini makin tak aku inginkan. Bukan nya aku tak tahu. Bahwa sebentar lagi aku akan dieksekusi oleh kemarahan. entah apa hari ini, mungkin seperti biasa, tamparan keras hingga bengkak di pelipis. Lebam sebelumnya baru hilang minggu ini. Mungkin harus kembali kurasakan namun tak bermaksud jera, aku menunggu saat itu. Saat dimana hanya dua kemungkinan, kalah atau menang. Ku mungkin tak pantas jika menganggap ini pertaruhan harga diri. Tidak mungkin karena bapak sangat idealis dan nyaris tanpa sifat mengalah. Tentu harga dirinya akan lebih tinggi dariku. Sabar, sebuah kata yang membuat orang teraniaya sekalipun bungkam, entah apa yang terjadi, namun sabarku bukan karena sikap, namun bingung entah harus bagaimana.
“Braks…..!!!!!!!!!!!!!”
Pintu kamarku ditendang, ini kesekian kalinya, dan sepertinya tamat sudah riwayatnya, pintu itu terlepas dari pegangannya. Lepas karena amarah yang terlalu kencang dari bapak.  Malang nasip pintu itu sebentar lagi akan menular pada ku dan jelas saja, tangan kekar itu menjambak jilbabku hingga terlepas. Tak puas sampai disitu. Dengan rambut yang sudah berpisah dari hijab aku diseret keluar dari kamarku yang senantiasa gelap tak berlampu. Tangan petani yang kekar itu menyeretku penuh amarah, sesampai dihadapan semua orang yang membisu tak sanggup berbuat apa-apa. Ketakutan pada proses eksekusi sang algojo murka. Tubuhku yang hanya 39 kilo ini pun diangkatnya dengan jambakan keras dirambut, mengerang kesakitan, aku tetap gadis lemah, suara tak kuasa tak kuasa lagi tertahan, ubun-ubun ini mendidih rasanya saat rambut tipisku dijambak tanpa ampun. Ku menjerit, mau bagaimana lagi karena ini memang sangat sakit. Saat wajah menderita ini berhadapan dengan wajah bapak, tak kudapati binar cahaya kasih seorang bapak lagi dimatanya. Mutlak amarah telah merasuki hingga syaraf,
kenapa…?
Kenapa tidak ada lagi bapak untuk seorang anak ditubuhnya kala ini, kala aku salah sekalipun….
Inikah yang diceeritakan tentang hati yang sudah mati…
“Braks….!!!!”
Sangat keras, itu bunyi benturan tubuhku, terhantam tiang rumah. Patah rasanya tulang belakang ini, bagian belakang kepalaku terasa sangat sakit, aku terbentur sempurna di tiang, tentu luar biasa sakitnya. Apalagi untuk gadis kecil sepertiku,
“Prang…!!!!!!”
Itu bunyi kedua. Berserakan dilantai pecahan lampu teplok yang bergantung di tiang ini. Sesuau kurasakan di kepala ini. Perih dan dingin. Kucoba menahan dengan tangan ku namun basah, dan saat kusaksikan darah segar, dimalam ini, kepalaku berdarah tertimpa lampu, sekarang aku mulai pusing sekali. Mulai gelap, dan …..
“Mbak……”itu suara terakhir yang aku dengar sebelum ….
////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////----

Haus………
Aku kehausan. Saat  ini aku sudah berada lagi dikamar. Jendelanya terbuka, padahal aku tidak pernah membukanya. Aku jadi tersadar kalau aku telat  solat subuh. Semoga Robbi mengampuniku, aamin,
Masih dengan tubuh terbaring aku mencoba bangkit namun berat bukan main. Dan aku teringat pada kepala ku yang berdarah. Tangan ku mencoba memegang kepala ini dengan hati-hati dan pelan. Sakit tapi sepertinya sudah diperban, mungkin oleh ibu, aku kembali mencoba untuk bangkit namun lumayan berat. Tidak aku harus bangkit. Saat hampir berhasil.
“Kamu istrahat dulu”
Sambil membaringkan tubuh ku kembali. Sepertinya Ibu semalam suntuk berada sini, terlihat mata yang lelah, bengkak dan berjejak air mata. Aku tahu, ibu pasti menangis semalam, sejak dulu, jika bapak mulai menganiayaku maka akan ditutup dengan tangis semalam suntuk oleh ibu. Ibu maaf. Tak bermaksud membuatmu manangis tapi inilah jalan dan apa yang ku percaya. Aku cinta kalian, ini karena aku menyayangi kalian, dimikian yang aku ucap, namun dalam hati, tak sanggupku ucap hingga mereka lah yang mendengarnya dari air mataku, kumohon mengertilah bahasa air mataku…..
Ibu keluar meninggalku yang menatap keluar jendela. Tak berani ku melihat wajah ibu yang menangis sampai pagi karenaku. Sesaat setelah ibu keluar, masuk lah sanjaya, dialah yang semalam mengeluarkan suara mbak. Adik kecilku.
“Sanjaya. Kamu gak sekolah,” tanyaku padanya
“Ini kan hari minggu mbak…….” sambil meletakkan semangkok bubur. Lalu ia pun berlalu.,.
Sudah biasa seperti ini, aku si gadis kecil seakan tak jera kala yang seperti ini menjadi yang kesekian kali, kesekian kalinya aku  disiksa hingga pingsan. Dan kesekian kali nya mereka bertanya dalam benak mereka kenapa aku begitu berontak. Kesekian kalinya akupun bertanya sampai kapan aku harus berontak. Sang pemberontak, cacian yang kusandang sejak ku percaya akan satu hal, yang bagi mereka satu hal itu adalah tak lebih dari keras kepalaku seorang siswi MAN yang masih tanggung akan pemahaman risalah dan tafsir. Namun bagiku, berontakku adalah mutlak pilihan dan satu-satunya kebenaran yang akan ku pilih hingga satu saja keputusan antara kemenangan atau berakhir dengan kematian. Mungkin cukup angkuh jika orang lain mendengar ikrarku yang hanya perempuan yang bahkan ukuran tubuh lebih kecil dari usianya. Tak sedikitpun aku gentar pada pilihan ku untuk tersiksa, aku pernah merasakan dikurung dalam kamar mandi seharian dan tak diberi makan ketika kehausan aku terpaksa meminun air yang ada di bak mandi, sudah terbiasa pingsan karena disiksa seperti binatang. Aku si gadis ini juga pernah dipermalukan. Dijemur dengan diterik metahari hingga  hujan dan menjadi tontonan warga. Cukup memalukan dan terlalu tanggung jika aku harus berhenti setelah  menderita sejauh itu. Karena akhir ada yang menentukan
///////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////
Dua malam sesudah insiden pembantaian. Semua sudah berkumpul. Diam dan siap mendengar  bapak yang kan mulai menyampaikan wejangan. Akan ada momen dalam waktu dekat. Malam ini kamu berkumpul untuk membicarakan persiapannya. Bapak termasuk pemuka di lingkungan, dan akan kerepotan dalam waktu dekat oleh acara tersebut. Semua berlangsung wajar namun juga was-was. Ibu, bu’ le, kakak, dan sanjaya bahkan sudah ketakutan dari tadi, bukan karena oleh Romo, namun was-was melirik gerak gerikku yang bisa saja bikin ulah disaat seperti ini. Karena saat seperti ini sangat berpotensi bagiku untuk menjadi pemberontak. Bahkan Romo juga sangat ku yakini sudah memperkirakan kejadian malam ini. Mungkin saja dia sudah mempersiapkan kayu besar untuk menghajarku,
“Sebentar lagi malam 1 suro.  labuhan merapi akan segera dilaksanakan. Kita harus mempersiapkan semua sesembahan…………………”
Itu wejangan Romo. Kata-kata seperti itu membakar semangat pemberontakanku
Cukup sudah, saatnya memberontak. Ku berdiri dan bermaksud keluar dari rumah. Inilah keributan besar yang sejak tadi ditakutkan oleh seisi rumah. Ibu, Bu’ le, kakak dan sanjaya yang sudah mulai menangis. Tiga langkah pertama ku beranjak dan sebuah benda lebih besar dari kepalaku terbang hanya beberapa centi saja dari telinga kiriku dan akhirnya menhantam jendela kaca hingga hancur berantakan. Andai saja benda itu benda itu mengenai kepala ini, tak hanya itu ada juga teriakan……
“ANAK SETAN!!!!!”
Serapah maki yang biasa bapak ucapkan dan sangat menyakitkan buatku. Bukannya aku anak kandungnya. Kenapa dia selalu menyebutku anak setan?......
Sepertinya bapak mengejarku, kurasakan derap langkah penuh amarah berjalan murka menujuku, ya Robbi……
Ku balikan tubuhku dan menatap bapak yang berjalan kearahku, namun akhirnya ia terhenti, saat aku aku menatapnya, di saat ia, tak menemukan rasa takut dimataku..
“Sampai kapan kalian percaya marijan bisa menyumbat merapi agar tidak meletus?...”
Kukatakan demikian sambil tertunduk. Tangan bapak mulai mengepal keras dan makin keras. Kurasa genggamannya sanggup memecahkan kulit kenari, kuangkat wajahku yang matanya berkaca-kaca ini. Dengan tegas ku mengatakan
“Taqwa dan takut ku hanya untuk Tuhanku, Robbi yang menghendaki merapi itu meletus, dan aku takkan  menyembah merapi itu sedikitpun. Seperti kalian yang memberinya makan tiap tahun. Satu lagi pak. Aku anak bapak, bukan anak setan…..”
Tak sanggup lagi aku tahan air mata ini namun keteguhan ku harus mneyelamatkn sisa harga diriku, segera kuberbalik sebelum mereka melihat air mata ini mengalir. Aku tak ingin dikatakan lemah. Aku pemberontak dan aku pemberontak hanya itu yang harus ku camkan. Aku pun berlalu dari semua yang ada dirumah, berlalu dari ayah yang ku buat diam dengan kata-kata lancangku, berlalu dari ibu yang sedih, berlalu dari semua yang sedang kacau dirumah ini.
Satu ritual yang sama sekali tak masuk dalam nalarku. Manusia mencoba memberi makan merapi, itu yang ku tahudan ku lihat, agar tidak meletus intinya, sungguh aneh,namun ketika sesuatu yang hanya tinggal menunggu kehendak Allah malah dijadikan sebagai celah iblis laknat untuk menjerumuskan manusia melalui wibawa tokoh seperti maridjan dan simbol-simbol kemusyrikan yang lain. Ini lah tempat ku berdiri, dimana orang-orang islam di lereng merapi dan sekitarnya punya seorang kuncen bernama maridjan. Yang kekolotannya jauh lebih meyakinkan dibanding tekhnologi modern. Padahal dia hanya orang tua keras kepala yang malah jadi bintang iklan itu sudah menjahiliakan otak-otak manusia era tekhnologi ini. Disatu peristiwa saat merapi sedang gencar-gencarnya mengancam, maridjan menolak dievakuasi karena iya yakin kalau merapai tidak akan marah katanya. Kebetulan saja saat itu tebakannya benar, dia pun naik pamor dan mulai membodohi seisi negeri dengan kemusyrikan. Juru kunci, pekerjaan aneh menurutku. Mereka sebaiknya tidak dianggap sebagai orang yang menghendaki kapan merapa akan meletus atau tidak, karena mereka sebenarnya tidak lebih dari penghafal jalan menuju puncak merapi untuk para wisatawan. Merapi Allah yang menciptakan, kapan ia harus meletus, adalah urusan Allah, manusi biasa bahkan maridjan tak lebih dari umat yang hanya bisa selamat oleh perlindungan Allah, mungkin kali ini tebakan mbah maridjan benar namun sampai kapan ia benar dan akan selamat dari merapi yang katanya dibawah kendalinya.
Kebodohan umat ini membuatku sakit sungguh miris dan menjijikan……
///////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////
Aku terus berjalan, waktu aku merasa tak puas aku pun berlari sambil menyeka air mata yang terus mengalir ini. Hingga pelarianku berujung ditempat ini. Tempat yang dulu kujadikan tempat mengaji, surau tua yang saat ini tidak diminati, hanya dijadikan tempat maghriban berjamaah, dan akan terisi waktu zuhur kalau ada yang minat. Namun sayangnya, tempat ini hanya bangunan tua penuh kenangan saja.
Aku tertempa. Dan terbiasa dengan taqwa dan hanya taqwa yang menjadi peganganku. Ku percaya pada satu saja Tuhan. Robbi ssamawati wal ardhi. Yang akan ku pertahankan karena janji cintaNya padaku,
“ Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh
Untukmu gadis kecil, sang prajurit perang yang tengah gundah. Demi Allah, Rabbi yang ku harapkan selamanya menjadi Tuhan yang aku sembah sepanjang sisa nafasku. Demi Rasulullah sang pejuang sejatiku yang memerdekakan islam yang kucintai, dan menjadi perantara Rabbi menyempurnakannya untukku. Terimakasih kepada orang tua atas kasih sayangnya, ku harap Rabbi memberiku kesempatan membalas budi mereka yang tak terhingga.
                Wahai gadis kecil ..
Gundah ? lelah ? atau kamu sedang jenuh ?
Kenapa ?
Dulu waktu aku seusiamu, dan waktu takdir Allah menghidupkanku atas kenyataan yang bisa ku tafsirkan, bahwa Semua dihadapanku menuju kehancuran.
                Ku bukan peramal, namun tingkah laku umat memang sepantasnya di akhiri dengan akhir zaman. Memang sudah di janjikan, bahwa islam akan kembali terasingkan seperti awal kedatangannya, mempertahankannya sama dengan bunuh diri.
                Apakah pernah kamu makan di antara orang – orang yang memberi makan pohon, batu, laut, dan gunung. Pernahkah kamu menyaksikan kedua saudara saling bunuh sambil melantunkan takbir yang sama persis. Di saat kamu hidup sekarang, apakah ada jenis berhala baru selain Latta dan Uzza. Lahirkah Fir’aun yang menuhankan dirinya saat ini. Bagaimana dengan cacian yang menyakitimu dengan sebutan berlebih kala aurat mu tertutup sempurna. Atau ketika orang – orang itu mencerca dan menyakitimu ketika tiada Dzat yang sanggup membuatmu takut selain Dia. Kamu tersakiti, kamu dihina dan tersiksa. Lalu apalagi …
                Namun, inilah yang sangat indah jika disebut cinta. Dan inilah sepucuk surat cintaku untukmu wahai gadis kecil. Tidak perlu khawatir, ini semua bukan salahmu. Terimakasih karena telah merasa tersakiti oleh kemusrikan. Terimakasih karena kau telah tersakiti oleh kejahiliahan. Terimakasih karena telah menyadari bahwa jalan mereka ke surge kian terkikis dan nyaris tak tersisa bagai tebing yang runtuh sedikit demi sedikit. Terimakasih jika kau tergugah oleh al-qur’an yang menjadi pedoman langkahmu.
                Do’amu .. pantaskah jika kau duduk disini saja dan menghabiskan asa mu dalam kalut yang tidak tepat pada waktunya. Disini kamu sedang gundah, namun lihatlah disana, semua orang sedang berjalan menuju jurang neraka. Ku titip padamu kampak Ibrahim, hancurkan berhala yang bertengger di hati keluarga dan orang – orang yang kau sayang agar berkurang gundah yang kamu takutkan. Ku titip cinta Rasul yang begitu mendalam pada umat yang ia lantunkan saat akhir hayatnya dalam sisa nafas terakhir. Berjanjilah, bahwa kamu akan melantunkan puisi – puisi indah menggugah agar mereka berpaling dari kebiadaban, bersaksi kan selamanya mencintai Rabbi kendati tersakiti seperti saat ini. Karena inilah neraka bagi mereka yang dicintai.
                Taukah kamu dimana aku berada kala peperangan itu, saat ku dapati prajurit berlari, saling serang kesana – kemari. Saat itulah debu – debu terangkat diantara kaki – kaki mereka. Ya ! disanalah aku. Akulah debu – debu yang terangkat kaki – kaki prajurit dan kuda yang berlarian. Nyaris tiada andil ku dalam pertarungan. Namun, aku ikut menjadi irama pertempuran itu. Ku harap bisa menjadi debu yang terbang dan masuk ke mata musuh agar ia buta. Kendati aku debu diantara para perindu surga, ku rindukan saat dimana cinta Allah dapat kurasakan, saat dimana Rasul memanggilku dengan sebutan ‘Saudaraku, kemarilah bersamaku ke surga, ini syafa’at yang di janjikan pada para dermawan yang senantiasa bershalawat kepadaku.’
                Sungguh ..
Untuk segenap cinta yang aku rasakan selama ini, dan segenap cinta yang kamu rasakan pula. Keluarlah! Berlarilah di antara para musuh, runtuhkan kemusyrikan yang selama ini berdiri tegak. Robohkan dan bakar hingga orang terakhir. Pastikan semua orang menyaksikan sendiri kelalaian mereka kepada cinta Rabbi yang mereka sia – siakan.  Sampaikan pahitnya kebenaran dan indahnya surga  sebuah dunia yang lebih baik. Sampaikan cinta terakhir nabi kepada mereka. Berlarilah karena Rabbi telah menjawab segala galau yang memaksa air matamu berkata – kata pilu.
                Kita bukan apa –apa, hanya debu yang berterbangan. Namun, cinta Allah adalah segalanya, bukan surga ataupun neraka. Cinta Allah .
                Berlarilah dan sampaikan pada mereka.
ALLAH MENCINTAIMU.”

Ku membuka kembali sebuah kenangan yang selalu membuatku kuat, kutemukan di tempat. ini lah rahasianya. Sepucuk surat cinta dari pemberontak yang ku tak pernah tahu siapa dia. Sepucuk surat yang selalu ku bawa kemana saja aku pergi. Ku bungkus ia dalam plastik agar ia tak basah, ku baca saat gundah sedang menyerang, saat aku nyaris menyerah di hempas siksaan.
Untuk mu yang entah siapa dan kemana sekarang, ku ucapkan terima kasih atas surat cintamu yang membuatku habis-habisan jatuh cinta pada penyiksaan hidup. Salam pemberontakan dariku, selamat berterbangan bagimu debu-debu perjuangan. Ku menanti berdiri disampingmu dan kita hempas bersama tirani hingga terkubur tak terkenang lagi…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar