Semua orang duduk dengan senyap.
Tak sepatah kata pun keluar diantara bibir-bibir membisu itu. satu ekspresi
seragam, takut. Sepertinya baru saja ada kejadian disini. Berbeda dengan yang
lain. Ada satu raut wajah disana yang penuh amarah. Dan tinggal meledak saja. yang lain dengan cemas bagai
menanti bencana. Senyap yang sudah berlangsung sekian menit, hampir 13 menit.
Setelah aku masuk kedalam rumah. Masuk kedalam rumah setelah seharian
menghilang.
Aku pergi seharian. Menenangkan
diri disuatu tempat, kala rumah ini makin tak aku inginkan. Bukan nya aku tak
tahu. Bahwa sebentar lagi aku akan dieksekusi oleh kemarahan. entah apa hari
ini, mungkin seperti biasa, tamparan keras hingga bengkak di pelipis. Lebam sebelumnya
baru hilang minggu ini. Mungkin harus kembali kurasakan namun tak bermaksud
jera, aku menunggu saat itu. Saat dimana hanya dua kemungkinan, kalah atau
menang. Ku mungkin tak pantas jika menganggap ini pertaruhan harga diri. Tidak
mungkin karena bapak sangat idealis dan nyaris tanpa sifat mengalah. Tentu
harga dirinya akan lebih tinggi dariku. Sabar, sebuah kata yang membuat orang
teraniaya sekalipun bungkam, entah apa yang terjadi, namun sabarku bukan karena
sikap, namun bingung entah harus bagaimana.
“Braks…..!!!!!!!!!!!!!”
Pintu kamarku ditendang, ini
kesekian kalinya, dan sepertinya tamat sudah riwayatnya, pintu itu terlepas
dari pegangannya. Lepas karena amarah yang terlalu kencang dari bapak. Malang nasip pintu itu sebentar lagi akan
menular pada ku dan jelas saja, tangan kekar itu menjambak jilbabku hingga terlepas.
Tak puas sampai disitu. Dengan rambut yang sudah berpisah dari hijab aku
diseret keluar dari kamarku yang senantiasa gelap tak berlampu. Tangan petani
yang kekar itu menyeretku penuh amarah, sesampai dihadapan semua orang yang
membisu tak sanggup berbuat apa-apa. Ketakutan pada proses eksekusi sang algojo
murka. Tubuhku yang hanya 39 kilo ini pun diangkatnya dengan jambakan keras
dirambut, mengerang kesakitan, aku tetap gadis lemah, suara tak kuasa tak kuasa
lagi tertahan, ubun-ubun ini mendidih rasanya saat rambut tipisku dijambak
tanpa ampun. Ku menjerit, mau bagaimana lagi karena ini memang sangat sakit.
Saat wajah menderita ini berhadapan dengan wajah bapak, tak kudapati binar
cahaya kasih seorang bapak lagi dimatanya. Mutlak amarah telah merasuki hingga
syaraf,
kenapa…?
Kenapa tidak ada lagi bapak untuk
seorang anak ditubuhnya kala ini, kala aku salah sekalipun….
Inikah yang diceeritakan tentang
hati yang sudah mati…
“Braks….!!!!”
Sangat keras, itu bunyi benturan
tubuhku, terhantam tiang rumah. Patah rasanya tulang belakang ini, bagian
belakang kepalaku terasa sangat sakit, aku terbentur sempurna di tiang, tentu
luar biasa sakitnya. Apalagi untuk gadis kecil sepertiku,
“Prang…!!!!!!”
Itu bunyi kedua. Berserakan
dilantai pecahan lampu teplok yang bergantung di tiang ini. Sesuau kurasakan di
kepala ini. Perih dan dingin. Kucoba menahan dengan tangan ku namun basah, dan
saat kusaksikan darah segar, dimalam ini, kepalaku berdarah tertimpa lampu,
sekarang aku mulai pusing sekali. Mulai gelap, dan …..
“Mbak……”itu suara terakhir yang aku
dengar sebelum ….
////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////----
Haus………
Aku kehausan. Saat ini aku sudah berada lagi dikamar. Jendelanya
terbuka, padahal aku tidak pernah membukanya. Aku jadi tersadar kalau aku
telat solat subuh. Semoga Robbi
mengampuniku, aamin,
Masih dengan tubuh terbaring aku
mencoba bangkit namun berat bukan main. Dan aku teringat pada kepala ku yang
berdarah. Tangan ku mencoba memegang kepala ini dengan hati-hati dan pelan. Sakit
tapi sepertinya sudah diperban, mungkin oleh ibu, aku kembali mencoba untuk
bangkit namun lumayan berat. Tidak aku harus bangkit. Saat hampir berhasil.
“Kamu
istrahat dulu”
Sambil membaringkan tubuh ku
kembali. Sepertinya Ibu semalam suntuk berada sini, terlihat mata yang lelah,
bengkak dan berjejak air mata. Aku tahu, ibu pasti menangis semalam, sejak
dulu, jika bapak mulai menganiayaku maka akan ditutup dengan tangis semalam
suntuk oleh ibu. Ibu maaf. Tak bermaksud membuatmu manangis tapi inilah jalan
dan apa yang ku percaya. Aku cinta kalian, ini karena aku menyayangi kalian,
dimikian yang aku ucap, namun dalam hati, tak sanggupku ucap hingga mereka lah
yang mendengarnya dari air mataku, kumohon mengertilah bahasa air mataku…..
Ibu keluar meninggalku yang
menatap keluar jendela. Tak berani ku melihat wajah ibu yang menangis sampai
pagi karenaku. Sesaat setelah ibu keluar, masuk lah sanjaya, dialah yang
semalam mengeluarkan suara mbak. Adik kecilku.
“Sanjaya.
Kamu gak sekolah,” tanyaku padanya
“Ini
kan hari minggu mbak…….” sambil meletakkan semangkok bubur. Lalu ia pun
berlalu.,.
Sudah biasa seperti ini, aku si
gadis kecil seakan tak jera kala yang seperti ini menjadi yang kesekian kali,
kesekian kalinya aku disiksa hingga
pingsan. Dan kesekian kali nya mereka bertanya dalam benak mereka kenapa aku
begitu berontak. Kesekian kalinya akupun bertanya sampai kapan aku harus
berontak. Sang pemberontak, cacian yang kusandang sejak ku percaya akan satu
hal, yang bagi mereka satu hal itu adalah tak lebih dari keras kepalaku seorang
siswi MAN yang masih tanggung akan pemahaman risalah dan tafsir. Namun bagiku,
berontakku adalah mutlak pilihan dan satu-satunya kebenaran yang akan ku pilih
hingga satu saja keputusan antara kemenangan atau berakhir dengan kematian.
Mungkin cukup angkuh jika orang lain mendengar ikrarku yang hanya perempuan
yang bahkan ukuran tubuh lebih kecil dari usianya. Tak sedikitpun aku gentar
pada pilihan ku untuk tersiksa, aku pernah merasakan dikurung dalam kamar mandi
seharian dan tak diberi makan ketika kehausan aku terpaksa meminun air yang ada
di bak mandi, sudah terbiasa pingsan karena disiksa seperti binatang. Aku si gadis
ini juga pernah dipermalukan. Dijemur dengan diterik metahari hingga hujan dan menjadi tontonan warga. Cukup memalukan
dan terlalu tanggung jika aku harus berhenti setelah menderita sejauh itu. Karena akhir ada yang
menentukan
///////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////
Dua malam sesudah insiden
pembantaian. Semua sudah berkumpul. Diam dan siap mendengar bapak yang kan mulai menyampaikan wejangan.
Akan ada momen dalam waktu dekat. Malam ini kamu berkumpul untuk membicarakan
persiapannya. Bapak termasuk pemuka di lingkungan, dan akan kerepotan dalam
waktu dekat oleh acara tersebut. Semua berlangsung wajar namun juga was-was.
Ibu, bu’ le, kakak, dan sanjaya bahkan sudah ketakutan dari tadi, bukan karena
oleh Romo, namun was-was melirik gerak gerikku yang bisa saja bikin ulah disaat
seperti ini. Karena saat seperti ini sangat berpotensi bagiku untuk menjadi
pemberontak. Bahkan Romo juga sangat ku yakini sudah memperkirakan kejadian
malam ini. Mungkin saja dia sudah mempersiapkan kayu besar untuk menghajarku,
“Sebentar
lagi malam 1 suro. labuhan merapi akan
segera dilaksanakan. Kita harus mempersiapkan semua sesembahan…………………”
Itu wejangan Romo. Kata-kata seperti itu membakar semangat
pemberontakanku
Cukup sudah, saatnya memberontak.
Ku berdiri dan bermaksud keluar dari rumah. Inilah keributan besar yang sejak
tadi ditakutkan oleh seisi rumah. Ibu, Bu’ le, kakak dan sanjaya yang sudah
mulai menangis. Tiga langkah pertama ku beranjak dan sebuah benda lebih besar
dari kepalaku terbang hanya beberapa centi saja dari telinga kiriku dan
akhirnya menhantam jendela kaca hingga hancur berantakan. Andai saja benda itu
benda itu mengenai kepala ini, tak hanya itu ada juga teriakan……
“ANAK SETAN!!!!!”
Serapah maki yang biasa bapak
ucapkan dan sangat menyakitkan buatku. Bukannya aku anak kandungnya. Kenapa dia
selalu menyebutku anak setan?......
Sepertinya bapak mengejarku,
kurasakan derap langkah penuh amarah berjalan murka menujuku, ya Robbi……
Ku balikan tubuhku dan menatap
bapak yang berjalan kearahku, namun akhirnya ia terhenti, saat aku aku
menatapnya, di saat ia, tak menemukan rasa takut dimataku..
“Sampai
kapan kalian percaya marijan bisa menyumbat merapi agar tidak meletus?...”
Kukatakan demikian sambil
tertunduk. Tangan bapak mulai mengepal keras dan makin keras. Kurasa
genggamannya sanggup memecahkan kulit kenari, kuangkat wajahku yang matanya berkaca-kaca
ini. Dengan tegas ku mengatakan
“Taqwa
dan takut ku hanya untuk Tuhanku, Robbi yang menghendaki merapi itu meletus,
dan aku takkan menyembah merapi itu
sedikitpun. Seperti kalian yang memberinya makan tiap tahun. Satu lagi pak. Aku
anak bapak, bukan anak setan…..”
Tak sanggup lagi aku tahan air
mata ini namun keteguhan ku harus mneyelamatkn sisa harga diriku, segera
kuberbalik sebelum mereka melihat air mata ini mengalir. Aku tak ingin
dikatakan lemah. Aku pemberontak dan aku pemberontak hanya itu yang harus ku
camkan. Aku pun berlalu dari semua yang ada dirumah, berlalu dari ayah yang ku
buat diam dengan kata-kata lancangku, berlalu dari ibu yang sedih, berlalu dari
semua yang sedang kacau dirumah ini.
Satu ritual yang sama sekali tak
masuk dalam nalarku. Manusia mencoba memberi makan merapi, itu yang ku tahudan
ku lihat, agar tidak meletus intinya, sungguh aneh,namun ketika sesuatu yang
hanya tinggal menunggu kehendak Allah malah dijadikan sebagai celah iblis
laknat untuk menjerumuskan manusia melalui wibawa tokoh seperti maridjan dan simbol-simbol
kemusyrikan yang lain. Ini lah tempat ku berdiri, dimana orang-orang islam di
lereng merapi dan sekitarnya punya seorang kuncen bernama maridjan. Yang
kekolotannya jauh lebih meyakinkan dibanding tekhnologi modern. Padahal dia
hanya orang tua keras kepala yang malah jadi bintang iklan itu sudah
menjahiliakan otak-otak manusia era tekhnologi ini. Disatu peristiwa saat
merapi sedang gencar-gencarnya mengancam, maridjan menolak dievakuasi karena
iya yakin kalau merapai tidak akan marah katanya. Kebetulan saja saat itu
tebakannya benar, dia pun naik pamor dan mulai membodohi seisi negeri dengan
kemusyrikan. Juru kunci, pekerjaan aneh menurutku. Mereka sebaiknya tidak
dianggap sebagai orang yang menghendaki kapan merapa akan meletus atau tidak,
karena mereka sebenarnya tidak lebih dari penghafal jalan menuju puncak merapi
untuk para wisatawan. Merapi Allah yang menciptakan, kapan ia harus meletus,
adalah urusan Allah, manusi biasa bahkan maridjan tak lebih dari umat yang
hanya bisa selamat oleh perlindungan Allah, mungkin kali ini tebakan mbah maridjan
benar namun sampai kapan ia benar dan akan selamat dari merapi yang katanya
dibawah kendalinya.
Kebodohan umat ini membuatku
sakit sungguh miris dan menjijikan……
///////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////
Aku terus berjalan, waktu aku
merasa tak puas aku pun berlari sambil menyeka air mata yang terus mengalir
ini. Hingga pelarianku berujung ditempat ini. Tempat yang dulu kujadikan tempat
mengaji, surau tua yang saat ini tidak diminati, hanya dijadikan tempat
maghriban berjamaah, dan akan terisi waktu zuhur kalau ada yang minat. Namun
sayangnya, tempat ini hanya bangunan tua penuh kenangan saja.
Aku tertempa. Dan terbiasa dengan
taqwa dan hanya taqwa yang menjadi peganganku. Ku percaya pada satu saja Tuhan.
Robbi ssamawati wal ardhi. Yang akan ku pertahankan karena janji cintaNya
padaku,
“ Assalamu’alaikum warahmatullahi
wabarokatuh
Untukmu gadis kecil, sang prajurit perang yang tengah gundah. Demi
Allah, Rabbi yang ku harapkan selamanya menjadi Tuhan yang aku sembah sepanjang
sisa nafasku. Demi Rasulullah sang pejuang sejatiku yang memerdekakan islam
yang kucintai, dan menjadi perantara Rabbi menyempurnakannya untukku.
Terimakasih kepada orang tua atas kasih sayangnya, ku harap Rabbi memberiku
kesempatan membalas budi mereka yang tak terhingga.
Wahai gadis kecil
..
Gundah ? lelah ? atau kamu sedang jenuh ?
Kenapa ?
Dulu waktu aku seusiamu, dan waktu takdir Allah menghidupkanku atas
kenyataan yang bisa ku tafsirkan, bahwa Semua dihadapanku menuju kehancuran.
Ku bukan peramal,
namun tingkah laku umat memang sepantasnya di akhiri dengan akhir zaman. Memang
sudah di janjikan, bahwa islam akan kembali terasingkan seperti awal
kedatangannya, mempertahankannya sama dengan bunuh diri.
Apakah pernah kamu
makan di antara orang – orang yang memberi makan pohon, batu, laut, dan gunung.
Pernahkah kamu menyaksikan kedua saudara saling bunuh sambil melantunkan takbir
yang sama persis. Di saat kamu hidup sekarang, apakah ada jenis berhala baru
selain Latta dan Uzza. Lahirkah Fir’aun yang menuhankan dirinya saat ini.
Bagaimana dengan cacian yang menyakitimu dengan sebutan berlebih kala aurat mu
tertutup sempurna. Atau ketika orang – orang itu mencerca dan menyakitimu
ketika tiada Dzat yang sanggup membuatmu takut selain Dia. Kamu tersakiti, kamu
dihina dan tersiksa. Lalu apalagi …
Namun, inilah yang
sangat indah jika disebut cinta. Dan inilah sepucuk surat cintaku untukmu wahai
gadis kecil. Tidak perlu khawatir, ini semua bukan salahmu. Terimakasih karena
telah merasa tersakiti oleh kemusrikan. Terimakasih karena kau telah tersakiti
oleh kejahiliahan. Terimakasih karena telah menyadari bahwa jalan mereka ke
surge kian terkikis dan nyaris tak tersisa bagai tebing yang runtuh sedikit
demi sedikit. Terimakasih jika kau tergugah oleh al-qur’an yang menjadi pedoman
langkahmu.
Do’amu ..
pantaskah jika kau duduk disini saja dan menghabiskan asa mu dalam kalut yang
tidak tepat pada waktunya. Disini kamu sedang gundah, namun lihatlah disana,
semua orang sedang berjalan menuju jurang neraka. Ku titip padamu kampak
Ibrahim, hancurkan berhala yang bertengger di hati keluarga dan orang – orang
yang kau sayang agar berkurang gundah yang kamu takutkan. Ku titip cinta Rasul
yang begitu mendalam pada umat yang ia lantunkan saat akhir hayatnya dalam sisa
nafas terakhir. Berjanjilah, bahwa kamu akan melantunkan puisi – puisi indah
menggugah agar mereka berpaling dari kebiadaban, bersaksi kan selamanya
mencintai Rabbi kendati tersakiti seperti saat ini. Karena inilah neraka bagi
mereka yang dicintai.
Taukah kamu dimana
aku berada kala peperangan itu, saat ku dapati prajurit berlari, saling serang
kesana – kemari. Saat itulah debu – debu terangkat diantara kaki – kaki mereka.
Ya ! disanalah aku. Akulah debu – debu yang terangkat kaki – kaki prajurit dan
kuda yang berlarian. Nyaris tiada andil ku dalam pertarungan. Namun, aku ikut
menjadi irama pertempuran itu. Ku harap bisa menjadi debu yang terbang dan
masuk ke mata musuh agar ia buta. Kendati aku debu diantara para perindu surga,
ku rindukan saat dimana cinta Allah dapat kurasakan, saat dimana Rasul
memanggilku dengan sebutan ‘Saudaraku, kemarilah bersamaku ke surga, ini
syafa’at yang di janjikan pada para dermawan yang senantiasa bershalawat
kepadaku.’
Sungguh ..
Untuk segenap cinta yang aku rasakan selama ini, dan segenap cinta yang
kamu rasakan pula. Keluarlah! Berlarilah di antara para musuh, runtuhkan
kemusyrikan yang selama ini berdiri tegak. Robohkan dan bakar hingga orang
terakhir. Pastikan semua orang menyaksikan sendiri kelalaian mereka kepada
cinta Rabbi yang mereka sia – siakan.
Sampaikan pahitnya kebenaran dan indahnya surga sebuah dunia yang lebih baik. Sampaikan cinta
terakhir nabi kepada mereka. Berlarilah karena Rabbi telah menjawab segala
galau yang memaksa air matamu berkata – kata pilu.
Kita bukan apa
–apa, hanya debu yang berterbangan. Namun, cinta Allah adalah segalanya, bukan
surga ataupun neraka. Cinta Allah .
Berlarilah dan
sampaikan pada mereka.
ALLAH MENCINTAIMU.”
Ku membuka kembali sebuah
kenangan yang selalu membuatku kuat, kutemukan di tempat. ini lah rahasianya.
Sepucuk surat cinta dari pemberontak yang ku tak pernah tahu siapa dia. Sepucuk
surat yang selalu ku bawa kemana saja aku pergi. Ku bungkus ia dalam plastik
agar ia tak basah, ku baca saat gundah sedang menyerang, saat aku nyaris
menyerah di hempas siksaan.
Untuk mu yang entah siapa dan
kemana sekarang, ku ucapkan terima kasih atas surat cintamu yang membuatku
habis-habisan jatuh cinta pada penyiksaan hidup. Salam pemberontakan dariku,
selamat berterbangan bagimu debu-debu perjuangan. Ku menanti berdiri
disampingmu dan kita hempas bersama tirani hingga terkubur tak terkenang lagi…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar