teman ipul

Minggu, 09 Desember 2012

setia pelari desa tenjolaya




Pasirjambu, 15 februari 2010                                              
Gadis kecil itu terus berlari dengan lincahnya seorang penghafal rute perkebunan teh dewata. Kaki ayamnya menapki lembutnya tanah subur berbalut kesejukan embun pagi khas jawa barat. Pelari marathon ini akan melintasi dua desa bolak-balik. Untuk itulah semangatnya terus melaju diantara dedaunan teh hingga rumput yang masih basah. Gadis berkerudung kaos berseragam putih merah menenteng sepatu dan dipundaknya bertas kumal. Berlari dialiri butir-butir keringat semangat, dan inilah ia. Berlari lah seorang setia hingga terlampaui sekolah yang harusnya ia tuju. Rupanya gadis yang ketegarannya terpancar di raut wajah itu masih belum selesai dalam laju mengejar angin. Sd Tenjolaya, Sekolah yang seharusnya dituju sang gadis. 10 menit lagi menunjukan pukul 07.30, waktu kelas dimulai. Larinya kian kencang menembus gang sempit menuju desa sugihmukti.
Sebuah desa yang tak kalah sejuk, karena masih Bandung. Sugihmukti. Sama halnya dengan seluruh desa di kecamatan Pasirjambu. Sejuk menenangkan, hingga disebuah rumah dengan pintu terbuka dan sederhana.  Duduk seorang gadis yang pasti akan tumbuh menjadi seorang ayu. Dialah Ayu, Tak bergerak dari tempat duduk menanti sambil melirik sesekali kedalam rumah. Tatapan melongok hingga tertuju jam dinding yang detik higga menit bergulir menuju pukul 07.30. waktu seharusnya dia sudah berada dibarisan putih merah SD Tenjolaya. Tangannya membolak balik buku namun mata lebih sering melongok kearah dalam rumah, menuju jam yang sejak tadi, dan….
“Ayu…..!”
Teriakan sang atlit yang tadi berlari. Setia, Rupanya dia berlari ketempat ini. Ngos-ngosan tak terhirau hingga ia finish dihadapan ayu yang ia teriaki tadi.
“Maaf yu…..aku tadi nyari catatan bahasa indonesia. Rupanya keselip di keranjang pakaian kotor. Makanya aku telat. Pakai  diceramah bibi pulak. Maaf ya ayu….”
Senyumlah yang ayu pancarkan untuk sang atlit olimpiade desa tenjolaya. Segera tangannya mengabil segelas air putih yang sejak tadi ia siapkan dimeja samping ia duduk.
“Ini tia. Kamu minum dulu…”
Tanpa canggung setia menenggak segelas besar air putih yang akrab dengannya tiap pagi jika sampai dirumah ayu. Begitu romantis hingga yang tersisa hanya basah jejak air saja dalam gelas itu.
“Tambah tia…”
Sebuah irama suara yang begitu renta terdengar. Muncullah  dari dalam rumah tubuh bungkuk terbeban tua dari dalam rumah dengan segelas besar lagi air putih.
“Makasih nek…..”
Masih tanpa sungkannya setia menenggak air itu lagi, ketahuan sekali ia sangat kehausan entah bagai mana dengan lelahnya.
“Ayo yu, kita berangkat ,!”
 Sambil duduk posisi jongkok membelakangi Ayu yang masih berada diatas kursi kayu.
“Kamu gak istirhat dulu ya. Kamu pasti lelah”
Tanya ayu yang yakin betul kawannya ini kelelahan.
“Kamu gak liat udah jam berapa. 10 menit lagi masuk. Buruan nanti kita telat !”
celoteh ayu tanpa ampuni lelahnya
“Baik bos.”
Patut sang ayu tanpa bisa menyankal semangat takut telatnya setia. Segera tangannya merangkul pundak setia dan perlahan setia berdiri dan posisi menggendong sempurna siap bergerak.
Demikianlah keseharian ayu dan setia. Setia dengan setianya menjemput Ayu yang lumpuh setelah demam tinggi menghentikan langkah kakinya. Sudah dua tahun kesetiaan persahabatan mengitari bumi Pasirjambu dari Sugihmukti hingga Tenjolaya. Haru sekaligus pilu, kesetiaan adalah satu-satunya peluang bagi gadis kecil nan ayu tapi lumpuh itu. Ia tidak mungkin mengandalkan satu-satunya nenek renta dirumah itu, satu-satunya keluarga yang dimiliki setelah kakak nya menjadi korban perdagangan manusia. Tak jelas kemana rimbanya, bisa saja di hongkong atau pun arab. Ayu juga hidup dari sisa peninggalan orang tuanya. Bukan harta atau pun tahta melainkan nama. Kedua orang tuanya adalah teladan desa. Apresiasi tak membiarkan ayu dan neneknya kelaparan. Ia hidup atas jasa kedua orang tuanya yang telah almarhum dalam satu kecelakaan lalu lintas. Lain hal dengan setia yang masih beruntung memiliki ayah dan ibu. Walaupun keduanya harus bekerja diarab sebagai TKI.
Tercapailah SD Tenjolaya. Lapangan upacara sudah kosong. Jelas bahwa kedua bocah ini telat. Namun maklum-kan menyambut perjuangan mereka. Di depan kelas pak baharudin guru bahasa Indonesia telah lebih dulu tegak dengan kapur yang menari-nari di papan hitam. Kehadiran dua bocah yang akan tumbuh menjadi gadis ayu ini. Dengan penghormatan manja dan ramah ala pak Baharudin, setia dan ayu dipersilahkan duduk di kursi terdepan. Kursi pilihan ayu, dan kursi yang terpaksa dipilih setia karena membutuhkan otak ayu yang cerdas.
“Baiklah, sesuai tugas yang bapak berikan menggu lalu. Hari ini anak-anak bapak akan membacakan puisi yang sudah bapak tugaskan. Dan yang akan membacakan puisi pertama hari ini. Setia”
Namanya dipanggil. Setia mematung dengan tatapan bak tanpa nafas. Bagaimana mungkin . bukunya saja baru tadi pagi ia temukan diantara tumpukan pakaian kotor. Namun ayu dari bawah meja menyodorkan lembaran kertas. Ayu sudah hafal tabiat kawannya itu. Dengan bisikan ia berkata….
“Cepat maju. Aku buatkan puisi untukmu …”
Antara lega dan bingung kaki setia sempat terantuk meja. Gemetar belum siap mental untuk membaca puisi yang bukan ia buat sendiri.
“Ayo setia….”
Pak bahar kembali memanggil setia yang luar biasa gugup. Namun segera ia menuju depan kelas dan membuka lembaran kertas bertulis puisi yang belum pernah ia baca. Sambil menarik nafas ia memulai rangkaian kata gubahan ayu.
Sahabat
Takkkan berdusta langit berbintang.
Bahwa cahaya bulan lah yang terindah kala malam
Tak terdustakan mentari pagi
Pasti kan bersinar menyambutmu membuka mata
Jika tiba waktu berlari
Genggamlah tanganku dan berlari bersamaku
Kita kan mengejar mentari yang terbenam
Melompat mencabuti bintang yang bersinar angkuh dilangit
Jika ku bersayap maka akan ku ajak kau terbang mengintip surga
Tempat aku dan kamu bersama kelak
Ku ingin menulis namamu di awan yang berterbangan
Ku ingin hembusan angin pagi menyanyikan simfoni tentang namamu
Dinyanyikan dengan indah oleh bidadari subuh
Yang berterbangan anggun mengitari ufuk barat hingga timur.
Sahabat
…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………
“Setia. Capek gag?, duduk dulu yok di jembatan…”
“Boleh….” Setia mengiyakan dengan ngos-ngosan
Sambil hati-hati setia menurunkan ayu yang ia papah dengan selalu hati-hati semenjak 2 tahun ini.
“Makasih ya ayu. Kamu udahmau buatin setia puisi, maaf yu. Tia lupa ngerjain tugasnya pak bahar.” Pinta maaf yng begitu lugu dari ayu
“Kamu sih selalu lupa. Buku aja ampe nyampur dengan pakaian kotor.”
Tawa dari bibir mungil mereka bercampur dengan aliran sungai di bawah jembatan sugihmukti. Sungai yang mengalir begitu pasti di musim hujan ini.
“Puisimu bagus yu. Ayu kalau soal nulis jagonya deh….”
Puji setia yang sudah tertolong
“Hehe. Biasa aja, aku buatin puisi tu buat kamu loh”
Setia tersenyum simpul dibibir. Memahami ucapan terima kasih tak terkira dari bait puisi yang ayu buatkan untuknya.
“Kamu kalau besar nanti mau jadi apa yu”
“Aku mau jadi penulis novel. Nanti aku bakal nulis cerita tentang kamu. Tenang sahabatku. Sahabat terbaikku. Kalau kamu tia. Kamu mau jadi apa”
“Hmmm. Aku bingung. Jadi apa ya….” Sambil menggaruk kepala
“Kamu jadi atlit angkat besi aja. Kan kamu udah latihan dari sekarang ngangkat ayu tiap pagi….”
Kembali tawa canda pecah. Persahabat Ciwidey lintas tenjolaya hingga Sugihmukti. Inilah kisah sebuah kesetiaan diantara takdir yang seharusnya membuat mata memandang bertransformasi menjadi kajian penghayatan. Haruskan ayu yang lumpuh menjadi beban setia.  Kendati tak hanya satu pria perkasa sugihmukti, kemana hati jiwa-jiwa yang memandang kepiluan yang mereka balut dengan tawa canda itu. Namun tak masalah bagi sebuah kesetiaan. Persahabatan inilah yang Allah siapkan untuk mata kita.
Mereka kembali berjalan. Senja hendak terbaring dipangkuan bukit hingga tersembunyi. Malam akan menjelang sebentar lagi. Tentu setia masih setia memikul beban tubuh kawannya yang lumpuh. Eksotika khas alam bandung begitu terasa hinggga sugihmukti ini. Berjalanlahmereka mengisi takdir yang sudah dicatatkan.
“Ayu. Kenapa ayu mau nulis tentang aku?”
setia kembali bertanya sambil berjalan.
“Makasih ya setia…”
Hanya ucapan demikian yang terucap. Mata setia yang tak menatap Ayu itu berair. Namun suara isak ia tahan diantara lelah memikul Ayu dan haru tak karuan. Entah mengapa ayu yang sebenarnya bukan siap-siapanya begitu berharga., bagi setia
“Kamu pasti akan terus melangkah yu. walau tanpa setia. Janji ya ayu,  Bakal jadi sahabat tia selamanya..!”
“Janji.!”
Ucap ayu begitu pasti.
Langkah setia terus berjalan. Hingga ayu kembali ke rumah dan satu hari lagi sebah kesetiaan tanpa lelah terceritakan dari anak-anak dunia ini. Entah apa rahasianya atau cerita esok. Namun hari ini sejarah mereka catatkan dilangit biru kala siang. Dipuisikan bintang kala malam. Indah sekali persahabatan ini. Tangis akan bercerita jika ia berhati.
………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….
23 februari 2011.
Hujan tiada ampun sejak tadi malam. Mengguyur satu kecamatan tiada henti sejak maghrib. Aliran sungai di bawah jembatan Sugihukti begitu keras terdegar ganasnya hingga rumah ayu. Ayu sedang terduduk didepan rumah jam telah menunjukan pukul 9 pagi. Setia tak kunjung datang. Ia maklum dan pasrah. Cuaca seburuk ini, wajar saja setia tidak datang. Setia sendiri mungkin tidak bisa bergerak dari dalam rumahnya. Jika musim penghujan ayu sering tidak masuk sekolah. Setia tidak berdaya untuk menjemput gadis itu. Kendati ia akan menyesal luar biasa tidak membantu saudaranya yang lumpuh itu. Tapi tak jarang walau hujan ia tetap datang. Menjemput dengan balutan mantel ukuran bapak-bapak untuk dipakai berdua dengan ayu. Kesetiaan ini berangkat dari hati. Hingga tiada ragu sebenarnya yang harus kita fikirkan bahkan sejenak melintas dibenak.  Namun ternyata…..
26 februari 2011.
Udara begitu segar dan langit cerah dipagi pukul 06:50. Sisa badai 3 hari lalu tak mebekas sedikitpun.
Namun ada kabar buruk dari desa tenjolya. Perkebunan teh dewata milik PT. Cakra longsor. Harap-harap cemas bagi ayu yang tanpa kabar dari setia. 3 hari  lebih menanti kabar sang setia ketimbang cemas tidak masuk sekolah. Bahkan sepenuhnya hingga 100 persen kepeduliannya tertuju pada setia yang belum berkabar. Cemas bukan main ia rautkan dalam rona wajah yang sesungguhnya ayu. 3 hari ia menanti kedatangan ayu. Bahkan jika tiada jasad yang menghampiri ia ingin kejelasan kabar. 2 hari tanpa menyentuh buku dan pena. Tanpa puisi atau sajak, hanya cemas ketakutan. Berhari hari bahkan sepekan sudah . kabar dari televisi sama sekali tidak ingin ia gubris. Berita bencana longsor ciwidey begitu membuatnya ketakutan. Walau kemungkinan ia bisa mendapat kabar setia dari sana, tapi ia lebih memilih berbaik sangka pada kondisi ini. Dengan nafas yang jarang teratur, Ia duduk dikursi biasa. Dimana setiap pagi setia menjemputnya. Menunggu hingga kepastian kabar datang. Dan…
“Ayu…”
Suara panggilan seperti biasa namun beda kali ini dari segi irama. Suara pria dewasa. pak Baharudin..
………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..
Jakarta 22 juli 2020
Gadis berkerdung coklat duduk menatap keluar jendela yang tertutup rapat. Kenangan itu kembali jelas dimalam ini. Kesetiaan yang telah diganti oleh kursi roda. Tumbuh ia menjadi gadis menawan sesuai ramalan. Anggun berbalut penutup sempura aurat. Bidadari di atas kursi roda. Tanggung jawab insan sempurna yang beruntung jika mendapatkannya. Tatapan nya jauh hingga belasan tahun lalu kisah sebuah kesetiaan sahabat begitu indah terkenang. Kendati ia Ayu. Tetap luka kehilangan adalah kisah dibalik karya-karyanya yang menawan.
“Yu. Ayok kamu sudah ditunggu.”
Pak Baharudin. Orang tua angkat ayu sejak benar-benar ia menjadi sebatang kara. Tak lama setelah bencana Ciwidey. Ayu kehilangan satu-satunya nenek yang ia miliki. Pak Bahar dengan tangan terbuka menyambut yatim piatu itu. Menjadikan nya anak yang sangat ia cinta sepertia anaknya yang lain. Orang tua angkatnya pun berjalan mendekati.
“Ayo. Entar lagi konferensi dimulai ya. Gak usah gugup.”
“Ya ayah” sanggup ayu
“Novel kamu benar-bena luar biasa nak. Bahkan fersi filmnya insyallah akan ikut festifal film dunia.”
“Alhamdulillah pak.” Syukur sang ayu tak henti terucap dari dalam hati. Kini ia menjadi apa yang ia impikan
Tak banyak yang mereka bicarakan selama menggiring kursi roda ayu. Pak bahar tahu. Malam ini dan sepanjang malam menuju malam ini adalah malam penuh kenangan. Setiap karya tertuang mengenang kesetiaan. Pak Bahar tak ingin menyebut nama setia. Karena tanpa disebut, memang itu yang ada dalam hati Ayu selalu.
“Ada berapa banyak orang yang datang ayah?”  
Tanya ayu pada pak bahar. Ia sedikit gugup.
“Banyak yu. Puluhan wartawan dan ratusan orang yang mau minta tanda tangan kamu. Jangan takut ya. Jawab saja apa adanya.”
“Hmm…”
Sambil mengangguk pasti dan selipan senyum manisnya.
Diruangan konferensi. Didepan studio 21 mall kelapa gading. Sudah berjejer wartawan yang siap bertanya. Rentertan antrian fans yang berebutan tanda tangan. Seorang wartawan tanpa sungkan lagsung bertanya
kemana setia?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar