Pasirjambu,
15 februari 2010
Gadis kecil
itu terus berlari dengan lincahnya seorang penghafal rute perkebunan teh
dewata. Kaki ayamnya menapki lembutnya tanah subur berbalut kesejukan embun
pagi khas jawa barat. Pelari marathon ini akan melintasi dua desa bolak-balik.
Untuk itulah semangatnya terus melaju diantara dedaunan teh hingga rumput yang
masih basah. Gadis berkerudung kaos berseragam putih merah menenteng sepatu dan
dipundaknya bertas kumal. Berlari dialiri butir-butir keringat semangat, dan
inilah ia. Berlari lah seorang setia hingga terlampaui sekolah yang harusnya ia
tuju. Rupanya gadis yang ketegarannya terpancar di raut wajah itu masih belum
selesai dalam laju mengejar angin. Sd Tenjolaya, Sekolah yang seharusnya dituju
sang gadis. 10 menit lagi menunjukan pukul 07.30, waktu kelas dimulai. Larinya
kian kencang menembus gang sempit menuju desa sugihmukti.
Sebuah desa
yang tak kalah sejuk, karena masih Bandung. Sugihmukti. Sama halnya dengan seluruh
desa di kecamatan Pasirjambu. Sejuk menenangkan, hingga disebuah rumah dengan pintu
terbuka dan sederhana. Duduk seorang
gadis yang pasti akan tumbuh menjadi seorang ayu. Dialah Ayu, Tak bergerak dari
tempat duduk menanti sambil melirik sesekali kedalam rumah. Tatapan melongok
hingga tertuju jam dinding yang detik higga menit bergulir menuju pukul 07.30.
waktu seharusnya dia sudah berada dibarisan putih merah SD Tenjolaya. Tangannya
membolak balik buku namun mata lebih sering melongok kearah dalam rumah, menuju
jam yang sejak tadi, dan….
“Ayu…..!”
Teriakan sang
atlit yang tadi berlari. Setia, Rupanya dia berlari ketempat ini. Ngos-ngosan
tak terhirau hingga ia finish
dihadapan ayu yang ia teriaki tadi.
“Maaf yu…..aku
tadi nyari catatan bahasa indonesia. Rupanya keselip di keranjang pakaian
kotor. Makanya aku telat. Pakai diceramah
bibi pulak. Maaf ya ayu….”
Senyumlah yang
ayu pancarkan untuk sang atlit olimpiade desa tenjolaya. Segera tangannya
mengabil segelas air putih yang sejak tadi ia siapkan dimeja samping ia duduk.
“Ini tia. Kamu
minum dulu…”
Tanpa canggung
setia menenggak segelas besar air putih yang akrab dengannya tiap pagi jika sampai
dirumah ayu. Begitu romantis hingga yang tersisa hanya basah jejak air saja
dalam gelas itu.
“Tambah tia…”
Sebuah irama suara
yang begitu renta terdengar. Muncullah
dari dalam rumah tubuh bungkuk terbeban tua dari dalam rumah dengan
segelas besar lagi air putih.
“Makasih nek…..”
Masih tanpa
sungkannya setia menenggak air itu lagi, ketahuan sekali ia sangat kehausan
entah bagai mana dengan lelahnya.
“Ayo yu, kita
berangkat ,!”
Sambil duduk posisi jongkok membelakangi Ayu
yang masih berada diatas kursi kayu.
“Kamu gak
istirhat dulu ya. Kamu pasti lelah”
Tanya ayu yang
yakin betul kawannya ini kelelahan.
“Kamu gak liat
udah jam berapa. 10 menit lagi masuk. Buruan nanti kita telat !”
celoteh ayu
tanpa ampuni lelahnya
“Baik bos.”
Patut sang ayu
tanpa bisa menyankal semangat takut telatnya setia. Segera tangannya merangkul
pundak setia dan perlahan setia berdiri dan posisi menggendong sempurna siap
bergerak.
Demikianlah
keseharian ayu dan setia. Setia dengan setianya menjemput Ayu yang lumpuh
setelah demam tinggi menghentikan langkah kakinya. Sudah dua tahun kesetiaan
persahabatan mengitari bumi Pasirjambu dari Sugihmukti hingga Tenjolaya. Haru
sekaligus pilu, kesetiaan adalah satu-satunya peluang bagi gadis kecil nan ayu
tapi lumpuh itu. Ia tidak mungkin mengandalkan satu-satunya nenek renta dirumah
itu, satu-satunya keluarga yang dimiliki setelah kakak nya menjadi korban perdagangan
manusia. Tak jelas kemana rimbanya, bisa saja di hongkong atau pun arab. Ayu
juga hidup dari sisa peninggalan orang tuanya. Bukan harta atau pun tahta
melainkan nama. Kedua orang tuanya adalah teladan desa. Apresiasi tak
membiarkan ayu dan neneknya kelaparan. Ia hidup atas jasa kedua orang tuanya
yang telah almarhum dalam satu kecelakaan lalu lintas. Lain hal dengan setia
yang masih beruntung memiliki ayah dan ibu. Walaupun keduanya harus bekerja
diarab sebagai TKI.
Tercapailah SD
Tenjolaya. Lapangan upacara sudah kosong. Jelas bahwa kedua bocah ini telat.
Namun maklum-kan menyambut perjuangan mereka. Di depan kelas pak baharudin guru
bahasa Indonesia telah lebih dulu tegak dengan kapur yang menari-nari di papan
hitam. Kehadiran dua bocah yang akan tumbuh menjadi gadis ayu ini. Dengan
penghormatan manja dan ramah ala pak Baharudin, setia dan ayu dipersilahkan
duduk di kursi terdepan. Kursi pilihan ayu, dan kursi yang terpaksa dipilih
setia karena membutuhkan otak ayu yang cerdas.
“Baiklah,
sesuai tugas yang bapak berikan menggu lalu. Hari ini anak-anak bapak akan
membacakan puisi yang sudah bapak tugaskan. Dan yang akan membacakan puisi
pertama hari ini. Setia”
Namanya
dipanggil. Setia mematung dengan tatapan bak tanpa nafas. Bagaimana mungkin . bukunya
saja baru tadi pagi ia temukan diantara tumpukan pakaian kotor. Namun ayu dari
bawah meja menyodorkan lembaran kertas. Ayu sudah hafal tabiat kawannya itu.
Dengan bisikan ia berkata….
“Cepat maju.
Aku buatkan puisi untukmu …”
Antara lega
dan bingung kaki setia sempat terantuk meja. Gemetar belum siap mental untuk
membaca puisi yang bukan ia buat sendiri.
“Ayo setia….”
Pak bahar
kembali memanggil setia yang luar biasa gugup. Namun segera ia menuju depan
kelas dan membuka lembaran kertas bertulis puisi yang belum pernah ia baca.
Sambil menarik nafas ia memulai rangkaian kata gubahan ayu.
Sahabat
Takkkan
berdusta langit berbintang.
Bahwa
cahaya bulan lah yang terindah kala malam
Tak terdustakan
mentari pagi
Pasti
kan bersinar menyambutmu membuka mata
Jika
tiba waktu berlari
Genggamlah
tanganku dan berlari bersamaku
Kita
kan mengejar mentari yang terbenam
Melompat
mencabuti bintang yang bersinar angkuh dilangit
Jika
ku bersayap maka akan ku ajak kau terbang mengintip surga
Tempat
aku dan kamu bersama kelak
Ku
ingin menulis namamu di awan yang berterbangan
Ku
ingin hembusan angin pagi menyanyikan simfoni tentang namamu
Dinyanyikan
dengan indah oleh bidadari subuh
Yang
berterbangan anggun mengitari ufuk barat hingga timur.
Sahabat
…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………
“Setia. Capek
gag?, duduk dulu yok di jembatan…”
“Boleh….”
Setia mengiyakan dengan ngos-ngosan
Sambil
hati-hati setia menurunkan ayu yang ia papah dengan selalu hati-hati semenjak 2
tahun ini.
“Makasih ya
ayu. Kamu udahmau buatin setia puisi, maaf yu. Tia lupa ngerjain tugasnya pak
bahar.” Pinta maaf yng begitu lugu dari ayu
“Kamu sih
selalu lupa. Buku aja ampe nyampur
dengan pakaian kotor.”
Tawa dari
bibir mungil mereka bercampur dengan aliran sungai di bawah jembatan
sugihmukti. Sungai yang mengalir begitu pasti di musim hujan ini.
“Puisimu bagus
yu. Ayu kalau soal nulis jagonya deh….”
Puji setia
yang sudah tertolong
“Hehe. Biasa
aja, aku buatin puisi tu buat kamu loh”
Setia
tersenyum simpul dibibir. Memahami ucapan terima kasih tak terkira dari bait
puisi yang ayu buatkan untuknya.
“Kamu kalau
besar nanti mau jadi apa yu”
“Aku mau jadi
penulis novel. Nanti aku bakal nulis cerita tentang kamu. Tenang sahabatku.
Sahabat terbaikku. Kalau kamu tia. Kamu mau jadi apa”
“Hmmm. Aku
bingung. Jadi apa ya….” Sambil menggaruk kepala
“Kamu jadi
atlit angkat besi aja. Kan kamu udah latihan dari sekarang ngangkat ayu tiap
pagi….”
Kembali tawa
canda pecah. Persahabat Ciwidey lintas tenjolaya hingga Sugihmukti. Inilah
kisah sebuah kesetiaan diantara takdir yang seharusnya membuat mata memandang
bertransformasi menjadi kajian
penghayatan. Haruskan ayu yang lumpuh menjadi beban setia. Kendati tak hanya satu pria perkasa
sugihmukti, kemana hati jiwa-jiwa yang memandang kepiluan yang mereka balut
dengan tawa canda itu. Namun tak masalah bagi sebuah kesetiaan. Persahabatan
inilah yang Allah siapkan untuk mata kita.
Mereka kembali
berjalan. Senja hendak terbaring dipangkuan bukit hingga tersembunyi. Malam
akan menjelang sebentar lagi. Tentu setia masih setia memikul beban tubuh
kawannya yang lumpuh. Eksotika khas alam bandung begitu terasa hinggga
sugihmukti ini. Berjalanlahmereka mengisi takdir yang sudah dicatatkan.
“Ayu. Kenapa
ayu mau nulis tentang aku?”
setia kembali
bertanya sambil berjalan.
“Makasih ya
setia…”
Hanya ucapan
demikian yang terucap. Mata setia yang tak menatap Ayu itu berair. Namun suara
isak ia tahan diantara lelah memikul Ayu dan haru tak karuan. Entah mengapa ayu
yang sebenarnya bukan siap-siapanya begitu berharga., bagi setia
“Kamu pasti
akan terus melangkah yu. walau tanpa setia. Janji ya ayu, Bakal jadi sahabat tia selamanya..!”
“Janji.!”
Ucap ayu
begitu pasti.
Langkah setia
terus berjalan. Hingga ayu kembali ke rumah dan satu hari lagi sebah kesetiaan
tanpa lelah terceritakan dari anak-anak dunia ini. Entah apa rahasianya atau
cerita esok. Namun hari ini sejarah mereka catatkan dilangit biru kala siang.
Dipuisikan bintang kala malam. Indah sekali persahabatan ini. Tangis akan
bercerita jika ia berhati.
………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….
23 februari
2011.
Hujan tiada
ampun sejak tadi malam. Mengguyur satu kecamatan tiada henti sejak maghrib.
Aliran sungai di bawah jembatan Sugihukti begitu keras terdegar ganasnya hingga
rumah ayu. Ayu sedang terduduk didepan rumah jam telah menunjukan pukul 9 pagi.
Setia tak kunjung datang. Ia maklum dan pasrah. Cuaca seburuk ini, wajar saja
setia tidak datang. Setia sendiri mungkin tidak bisa bergerak dari dalam
rumahnya. Jika musim penghujan ayu sering tidak masuk sekolah. Setia tidak
berdaya untuk menjemput gadis itu. Kendati ia akan menyesal luar biasa tidak
membantu saudaranya yang lumpuh itu. Tapi tak jarang walau hujan ia tetap
datang. Menjemput dengan balutan mantel ukuran bapak-bapak untuk dipakai berdua
dengan ayu. Kesetiaan ini berangkat dari hati. Hingga tiada ragu sebenarnya
yang harus kita fikirkan bahkan sejenak melintas dibenak. Namun ternyata…..
26 februari
2011.
Udara begitu
segar dan langit cerah dipagi pukul 06:50. Sisa badai 3 hari lalu tak mebekas
sedikitpun.
Namun ada
kabar buruk dari desa tenjolya. Perkebunan teh dewata milik PT. Cakra longsor.
Harap-harap cemas bagi ayu yang tanpa kabar dari setia. 3 hari lebih menanti kabar sang setia ketimbang cemas
tidak masuk sekolah. Bahkan sepenuhnya hingga 100 persen kepeduliannya tertuju
pada setia yang belum berkabar. Cemas bukan main ia rautkan dalam rona wajah
yang sesungguhnya ayu. 3 hari ia menanti kedatangan ayu. Bahkan jika tiada
jasad yang menghampiri ia ingin kejelasan kabar. 2 hari tanpa menyentuh buku
dan pena. Tanpa puisi atau sajak, hanya cemas ketakutan. Berhari hari bahkan
sepekan sudah . kabar dari televisi sama sekali tidak ingin ia gubris. Berita
bencana longsor ciwidey begitu membuatnya ketakutan. Walau kemungkinan ia bisa
mendapat kabar setia dari sana, tapi ia lebih memilih berbaik sangka pada
kondisi ini. Dengan nafas yang jarang teratur, Ia duduk dikursi biasa. Dimana
setiap pagi setia menjemputnya. Menunggu hingga kepastian kabar datang. Dan…
“Ayu…”
Suara
panggilan seperti biasa namun beda kali ini dari segi irama. Suara pria dewasa.
pak Baharudin..
………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..
Jakarta 22
juli 2020
Gadis
berkerdung coklat duduk menatap keluar jendela yang tertutup rapat. Kenangan
itu kembali jelas dimalam ini. Kesetiaan yang telah diganti oleh kursi roda. Tumbuh
ia menjadi gadis menawan sesuai ramalan. Anggun berbalut penutup sempura aurat.
Bidadari di atas kursi roda. Tanggung jawab insan sempurna yang beruntung jika
mendapatkannya. Tatapan nya jauh hingga belasan tahun lalu kisah sebuah
kesetiaan sahabat begitu indah terkenang. Kendati ia Ayu. Tetap luka kehilangan
adalah kisah dibalik karya-karyanya yang menawan.
“Yu. Ayok kamu
sudah ditunggu.”
Pak Baharudin.
Orang tua angkat ayu sejak benar-benar ia menjadi sebatang kara. Tak lama setelah
bencana Ciwidey. Ayu kehilangan satu-satunya nenek yang ia miliki. Pak Bahar
dengan tangan terbuka menyambut yatim piatu itu. Menjadikan nya anak yang
sangat ia cinta sepertia anaknya yang lain. Orang tua angkatnya pun berjalan
mendekati.
“Ayo. Entar
lagi konferensi dimulai ya. Gak usah gugup.”
“Ya ayah”
sanggup ayu
“Novel kamu
benar-bena luar biasa nak. Bahkan fersi filmnya insyallah akan ikut festifal
film dunia.”
“Alhamdulillah
pak.” Syukur sang ayu tak henti terucap dari dalam hati. Kini ia menjadi apa
yang ia impikan
Tak banyak
yang mereka bicarakan selama menggiring kursi roda ayu. Pak bahar tahu. Malam ini
dan sepanjang malam menuju malam ini adalah malam penuh kenangan. Setiap karya
tertuang mengenang kesetiaan. Pak Bahar tak ingin menyebut nama setia. Karena
tanpa disebut, memang itu yang ada dalam hati Ayu selalu.
“Ada berapa
banyak orang yang datang ayah?”
Tanya ayu pada
pak bahar. Ia sedikit gugup.
“Banyak yu.
Puluhan wartawan dan ratusan orang yang mau minta tanda tangan kamu. Jangan
takut ya. Jawab saja apa adanya.”
“Hmm…”
Sambil
mengangguk pasti dan selipan senyum manisnya.
Diruangan
konferensi. Didepan studio 21 mall kelapa gading. Sudah berjejer wartawan yang siap
bertanya. Rentertan antrian fans yang berebutan tanda tangan. Seorang wartawan
tanpa sungkan lagsung bertanya
kemana setia?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar