teman ipul

Minggu, 09 Desember 2012

Om 2000 aja om




Satu jam sudah layar monitor ini membuat mata kian minus. Pusing dan makin pusing saat yang kutatap hanya status tidak jelas, PP yang berganti kian amit-amit, dan komen nyeleneh tak karu-karuan. Inilah FB, rutinitas yang menjebakku dan yang lain dalam buang uang dan waktu. Entah konyol apa yang terjadi sampai-sampai ada yang menikah sejenis gara-gara FB.
Sebaiknya jangan sampai dalam pembahasan ini fb menjadi topik. Cukup mukoddimah saja, dan aku harus segera lepas dari jeratan FB. Mumpung billing masih 2000.
Lepas dari jebakan warnet aku masuk dalam jeratan baru. Perjalanan  kekampus, WHY ?.  Sebenarnya itu tidak masalah. Hanya saja jauh diatas sana matahari sedang mengamuk pada batam. Suhu panas batam membuat otakku seakan berkurang 1 % tiap hari dan kian bodoh saja. Yang di benanku adalah ruang kelas bagai oven yang akan memamanggang sedang menanti kedatanganku. Kontraktor yang mengambil tender kampus salah pasang ac. Membuatku kian tak niat untuk ngampus. Aku yakin dia belajar fengsui di papua, bukan dicina. Ditambah lagi posisi saklar lampu yang tidak karuan, aduh-aduh.
Mau tidak mau kampus harus harus dituju. Walau panas aku harus menyelamatkan absensi ku di pelajaran pak dekan. Aku belum pernah masuk pelajaran beliau walau memang beliau juga belum pernah masuk sejak uts. Tapi NO ESCUSE. Aku harus GO A HEAD. Walau panas menghantam bagai Pamong praja Di aksi anti korupsi. WHAT EVER lah. Aku harus jalan.
Sepanjang perjalanan panas sudah dipastikan mengiringi. Tapi apa mau dikata. Lengan ku yang tak terlindungi ini terbakar rasanya saat antri di lampu merah sungai panas.pak polisi saja enggan keluar dari posnya . padahal ada pelajar SMA yang tidak pakai helm. Dasar anak muda. Keras kepala sekali. Mudah-mudahan dia tidak protes kalau nanti terbukti aspal lebih keras dari kepalanya.
Kampus FT. UMRAH sudah semakin dekat dan aku tertahan lagi dilampu merah. Kali ini di simpang empat  panasonic. Sama seperti di tempat lain disini juga masih panas. Proyek jalur hijau yang main-main membuat Batam gersang. Dilampu merah ini juga dapat kita lihat langsung betapa beringasnya manusia dengan tangannya. Mampu merusak bukit yang tepat berada didepan tatapan mataku. Ini satu dari sekian bukit yang di hancurkan di batam ini. Apa sih yang tidak bisa diobjeckin di Batam madani ini. Selain bukit dibatam ini moral juga jadi objeck penghancuran. Anak-anak muda yang tidak tahu kalau orang tua susah cari uang berkeliaran bebas bagai PSK dibelakang bank BCA JODOH. Mereka dengan kasar telah melecehkan kepercayaan orang tua mereka dengan hedonisme bahkan berkeliaran bebas sampai kekampus dan sekolah sekolah sebagai intelektual minus. Dan ...
Om-om dua ribu aja om.
Celana ku ditarik-tarik oleh tangan mungil membuyarkan cacianku pada kehebohan akhir zaman. seorang gadis kecil wajah usang menyembunyikan keceriaan masa kecil. Rambut terbalut jilbab kaos berwarna pink yang tak kalah kumuh. Nafas lelah yang sepertinya sudah terbiasa ia hembuskan tiap hari dari mulut terbuka  dan hidungnya yang asih ingusan. Bajunya tidak compang-camping seperti gepeng, hanya saja kotornya bukan main. Menggambarkan pertempuran seharian dengan nasip yang menggantung di tumpukan koran yang ia genggam sejak pagi hingga terik menyiksa seperti ini. Ya ampun. Ini si pemain baru. Aku baru melihatnya hari ini. Apa yang sikecil ini lakukan disini. Seharusnya ia berada di depan gurunya. Yang menceritakan kisah sibudi dan keluarga besarnya.
Om-om dua ribu aja om.
Masih kaimat yang sama seperti tadi. Aku tersentak oleh kalimat itu. Setelah sejenak aku kebingungan dengan sunatullah rendahnya bumi terhampar tiada arti oleh tingginya singgasana langit. Ya ampun, Segera ku rogoh kocekku dan selembar uang kuberi. Anak itu menyambut dan berlalu tanpa memberikan koran padaku. Bukannya dia sedang menjual koran?
Tidak. Dia sedang menjual iba. Gadis kaki ayam itu berlalu dengan semangat ke pengemudi mobil didepanku. Tubuhnya yang pendek menjinjit, mengintip kekayan dalam sebuah avanza mewah. Kemudian berjalan lagi kedepan kekiri dan ke samping mencari peluang hidup diatas panas aspal.
Bang ini bang.
Masih anak yang tadi namun kali ini dengan teriakan ia berlari lagi. Kearah seorang  bocah laki-laki yang terlihat hanya 3 tahun saja lebih tua di luar badan jalan. Anak yang kali ini benar-benar terlihat gembel sedang meminum es dari kantong plastik yang terkontamnasi bakteri panas matahari dan karbon knalpot.
Ya ampun, satu lagi harapan yang terbuang. Mungkin dialah juara robotik berkonsep HUMAN INTELEGNTIA tingkat dunia dari negeri ini. Atau seoarang aktifis BEM dengan retorika sedahsyat sokarno yang tulisannya sefenomenal bujang abadi soe hok gie, di suatu masa kelak. Mungkin dari dia para koruptor akan habis sampai jejak-jejak kakinya. Tapi kini...
Anak yang seharusnya memikul segudang cita-cita itu lebih disibukkan dengan memikul koran jualannya. Koran posmetro pulak. Yang headlinenya dipampang di simpang-simpang jalan, berbahasa mesum dan berisikan alat kontrasepsi sibrewok. Parah sekali. Bocah itu mungkin sudah pandai membaca. Jika ini yang terjadi bisa saja dia malah menjad kriminal asusila didikan posmetro. Malangnya anak kecil itu.
Adik kecilnya yang berjilbab kaos tadi mengampiri. Memberikan ronyokan uang kertas yang menggumpal di tangannya. Kemudian uang itu dimasukan kedalam tas pinggangnya. Ia lalu menyuruh adiknya istirahat. Dan sigadis kecil itu mengeluhkan kakinya yang melepuh kepada siabang. Tidak bisa apa-apa siabang mengambil semua koran yang di peluk adiknya dan berjalan menuju simpang lampu merah diseberang jalan sana. Meninggalkan si adik yang masih menikmati luka  telapak kaki yang tersiksa.
1 menit berlalu. Dan lampu hijau menyala. Kutinggalkan fenomena simpang lampu merah dan melaju hampa ke kampus. Peristiwa ini lazim terjadi di semua simpang lampu merah. tidak hanya penjual koran. Bencong juga kadang-kadang parkir disana. Tapi yang kali ini terjadi benar-benar menggangu fikiranku. Tidak tenang rasanya. Merasa ada yang harus aku lakukan. Tapi apa ?
..................................................................................................................................................................
Takdir ilahi. Selalu ada yang susah jika ada yang senang namun Allah menyisipkan diantara sisenang dan susah para insan Yang mengkaji dalam fikirnya tentang kesenjangan dan untuk apa. Yang menyelaraskan keduanya menuju kemapanan yang diimpikan. Yang bertugas mengingatkan saling berbagi dan mengasihi, yang menjelaskan betapa  sakitnya tersakiti dan kejinya menyakiti sesama dengan apatisme. Yang membuktikan betapa empati  mampu menghibur sesama.
Siang itu pak dekan telat datang. Entah telat atau siang ini belia tidak masuk lagi, seperti  biasa aku tidak peduli. Kusempatkan saat itu untuk terus memikirkankedua bocah tadi. Masih saja mereka mengganngu fikiranku seakan tiada celah lagi bagi hati ini untuk merasakan kesenangan. Kesenangan yang selama ini terlalu kunikmati, sendiri kadang tanpa berbagi oleh keegoisan mutlak.
Sesuai Tri darama perguruan tinggi. Yang pertama....
Astagfirullah, aku tidak hafal. Wajar karena anaknya bung karno saja kebingungan ketika disuruh menghafal pancasila. Aku tidak pernah menghafal dengan pasti tridarma perguruan tinggi, jika nanti ada wartawan yang mencegatku dijalan dan menyuruhku menghafalnya didepan kamera, maka hanya akan aku katakan satu saja yang tidak pernah aku lupa.pengabdin masyarakat. Darma yang kembali teringat jelas. Paling gampang aku hafal. Seakan keluar dari kepalaku yang kepanasan oleh suhu batam yang kian meninggi. Megalir turun dari kening ini menyelinap kedalam baju kaos ku yang basah dan meresap seakan kedada. Pengabdian masyarakat, bagian dari tanggung jawab yang sering terlupakan.
Manusiawikah ketika anak akutansi hanya menghitung uang dalam khayalannya, lalu anak IT dengan jarinya yang lengket tak lepas-lepas dari keyboard dan isi otaknya dipenuhkan oleh java. Dan anak alektro dengan ujung solder dan teori-teori energi terbarukan mutakhirnya. Apakah ini sudah jamannya kita bilang, akukan mahasiswa teknik, bukan mahasiswa sospol yang harus memikirkan kesenjangan, kelaparan dan sikecil yang tidak sempat berkenalan dengan keluarganya budi di bangku sekolah. Begitu mudahnya intelektual batam dijengkal. Dan harganya tidak lebih dari 300.000. aku menyaksikan sendiri aksi 100 hari kepemimpinanSBY BUDI ternyata berakhir dimeja makan bundo kanduang. Alhasil kelaparan sigembel kecil bisa berkeliaran di kota dengan sejuta perusahaan.
Mungkin kita perlu melakukan KKN. Jika alasannya dibatam ini tidak ada lagi pedalaman, maka sigembel kecil bisa kita jadikan objeck bukan?. Orang susah masih banyak dan batam ternyata tidak kunjung madani. Mereka harus kita selesaikan. Dengan ilmu terknik kita sekalipun,  pasti ada sesuatu yang bisa kita lakukan. Kita Cuma butuh waktu untuk berfkir sejenak. Mengenyampingkan ego dan ambisi. Mengoptimalisasikan kaidah ilmu yang kita kenyam selama ini. Berkeputusan untuk mengambil alih pekerjaan-pekerjaan tidak beres pemerintah kita. Dan lebih sering berada di bawah lampu merah. Merasakan panasnya matahari dan dinginnya hujan yang selama ini bergantian menjemur  bahu-bahu lemah mereka.
..................................................................................................................................................................
Jam berakhir di kampus, saat baru saja beranjak dari parkiran, sekitar 50 meter saja dan rintikrintik hujan berjatuhan. Alhamdulillah, tapi kenapa tepat ketika aku hendak pulang. Karena hanya rintikan aku terus melaju tanpa peduli, sayangnya makin lebat dan hujanpun menghentikan aku di lampu merah yang tadi. Dan benar saja. Kedua bocah masih disana. Saling melindungi dari hujan. Hidup susah  sudah mengajarkan arti kesetiaan dan kasih sayang. Mereka tidak kudengarsedang saling sapa dengan menyebut nama. Abang, adek, kata yang bisa memalingkan mereka dari dari penderitaan. Memastikan bahwa mereka saling melindungi. Beda dengan aku dan adikku. Kami bahkan terbiasa saling caci, teridik oleh kesenangan dan ego.
Hah...
Mereka menjual iba. Dan membeli kepastian akan hidup dari kita, kaum yang sudah banyak makan bangku sekolah
Now what.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar