teman ipul

Minggu, 16 Desember 2012

Muhammad Dan Matar



Muhammad Dan Matar
(debu pengharapan diatas sisa-sisa jasad shahd)



 “Apa yang harus kita lakukan Muhammad?”
“Ku juga belum tahu, semoga Allah memberi petunjuk” Matar tak kunjung meredam kepalan ditangannya. Amarah dan pilu menyatu hendak meledakkan ubun-ubun. Tangis dalam hati terus dimunajatkan bersama doa yang tiada henti penuh harap. Ku tahu, ku hafal betul kelakuan bocah ini, sudah 3 hari ini kami bersama diantara puing-puing reruntuhan, bersucikan tayamum dan tak beranjak dari kehancuran ini. Muhammad saudara kecilnya  yang tak henti menangis terisak juga telah memasuki hari ketiga.
“Sudah tiga hari matar, aku tidak bisa menahan lagi dan aku akan kesana!”  tegas Muhammad penuh putus asa
“Jangan Muhammad, kau hanya akan bernasip seperti shahd. Kita tidak bisa apa-apa selain menunggu!” cegah matar sambil terus memantau tempat yang sejak tiga hari ini kami pantau tanpa henti  Bagai tikus mengincar keju.
“Tidak, aku tidakmungkin diam disini saja, aku harus kesana, aku harus menjemput shahd.aku harus menjeput shahd!” Kembali Muhammad mempertegas dengan teriakan membentak penuh murka.
Matar berbalik sambil melotot mencengkram  batang leher Muhammad “Diam kau Muhammad, ini bukan saatnya bertidak bodoh, kita tidak boleh bernasip sama seperti shahd” Muhammad  tak diam, dengan amarah kian menggila, ia berbalik mencekik dan membanting matar  hingga terbaring ditanah dan masih dalam cekikannya.
“kenapa , kau takut, kau tidak mau menyelamat kan shahd. Kau pengecut, pengecut kau matar!”
“Aku bukan pengecut….!” Teriak matar dan balas membanting Muhammad mereka pun bergulat penuh amarah, saling banting ditanah hingga debu-debu membuat mereka yang sudah tidak mandi berhari-hari itu kian kumal. Dua saudara itu saling hajar dalam air mata kesedihan yang terus terurai. Ini lah saatnya aku ikut campur dalam amarah mereka. Ku pisahkan kedua kakak beradik itu. Beruntung walau penuh amarah, mereka adalah bocah sehingga nyaris tanpa kesulitan aku dalam memisahkan mereka. untuk beberapa saat aku harus terus memastikan agar mereka terus terpisah beberapa meter satu sama lain. Walau pandangan mereka terus bertarung sengit saling bunuh mental. Muhammad sang adik yang pemberani. Dan matar, sang matar yang jauh dari sifat mengalah. Kupastikan mereka terpisah hingga bara amarah meredam.
Satu jam berlalu dari saat perkelahian dua petarung. Suasana akhirnya dingin, namun habis amarah terbit lah kesedihan yang tadi. Mereka terisak tiada henti dan memang mereka tak henti menangis sudah 3 hari ini. Tiga hari ini.
Senja sore ini, mulai masuk menggantikan hari.  maghrib, adzan terdengar sayup dari kejauhan daerah terisolir konflik ini. Kedua saudara itu tanpa dikomando, mereka memang taat dan jauh dari ingkar pada panggilan Adzan, tidak ada air disini, dan kami memang tidak mungkin menemukan air disini. Adapun air yang tersisa hanya cukup untuk menjamin dahaga kami yang entah sampai berapa lama tertahan disini. Dan makanan, kami dapat dari mengorek-ngorek reruntuhan rumah keluarga Muhammad dan matar yang rubuh. Entah sampai berapa lama persediaan itu akan bertahan pula.
Bersama Muhammad dan matar, kami bersuci kan tayamum ketika hendak menghadapkan derita ini pada Ilahi Robbi. Terus kupertanyakan misteri akan takdir yang telah Allah rencanakan untuk kami yang terperangkap dan  dikelilingi maut saat ini. Kedua anak itu, bahkan berdzikir semalam suntuk mulai dari pertigaan malam hingga subuh. Aku tak bisa tidur, karena harus menjaga mereka yang bisa saja bertindak bodoh dan mati, mati jika bertindak bodoh. Untuk itu aku harus tetap terjaga. Dan ini memasuki hari keempat aku nyaris tak tidur. Saat mentari mulai muncul di ba’da subuh, aku mencoba mengalihkan mereka dari duka mereka dan bercerita bemaksud bercanda.
“Muhammad, matar, apa cita-cita kalian. Kalian punya cita-citakan?” aku mencoba membuka topik hari ini, namun mereka tidak merespon begitu baik. Saling menatap kemudian mereka tertunduk lagi dalam duka. Percobaan pertama ku gagal.
“Muhammad, matar, kalian tahu?  Waktu aku kecil aku bercita-cita jadi seorang  power ranger, agar bisa menjadi menumpas kejahatan, tapi kata ibuku, tidak ada yang seperti itu, aku tidak percaya, dan aku tetap ingin menjadi agar bisa menumpas para penjahat?” Sepertinya mereka tidak mengerti dengan yang aku bicarakan. Mungkin karena dinegeri mereka tidak ditayangkan power ranger. Lagi pula mereka anak-anak yang penuh ketegaran dan terdidik oleh penderitaan dan terbiasa dengan nyawa terancam. Mereka menghadapi ancaman yang jauh lebih nyata ketimbang para power ranger. Maka percobaan kedua ku pun gagal lagi. “Kalian tahu tidak saat aku besar dan disebut dewasa, akhirnya aku menemukan cita-cita terbaik untuk menumpas kejahatan. Aku menjadi wartawan  dan menulis untuk melawan kejahatan merek., Dan cita-cita ku terwujud. Aku berhasil mewujudkan cita-cita ku. Lalu. Apa cita-cita kalian?”
“Aku hanya ingin memerdekakan negaraku, dengan memenggal seluruh kepala mereka!” matar angkat bicara. Sebuah cita-cita menakutkan untuk seorang bocah 14 tahun. Namun wajar, sudah sepantasnya kebencian dan dendam menyelimuti mereka. Para bocah yang menjadi korban sneper, dan setiap detik satu diantara mereka bisa saja mati.  Pri kemanusiaan adalah mimpi disini.
“Aku hanya ingin menguburkan sisa jasad shahd”. Demikian Muhammad ketika ditanyai mengenai cita-cita. Menguburkan sisa jasad shahd, sisa jasad. Ini lah alasan mengapa kami tidak beranjak dari tempat ini. shahd, jenazah gadis kecil itu sudah empat hari tergeletak disana. Kami tak berdaya menjemputnya untuk dimakamkan. Dari seluruh penjuru penembak jitu sedang menjaga jasad shahd agar tak diselamatkan. Mereka tahu kami akan datang menyelamatkan shahd yang sudah tak bernyawa itu, mereka menjadikan shahd sebagai umpan. Sungguh kami benar-benar menjadi tikus disini. Aku sendiri sempat mencoba untuk mengambil jasad gadis 4 tahun itu namun belum apa-apa aku di brondong peluru. Beruntung aku masih bisa selamat. Banyak anak yang mati disini. Gugur tanpa ampun dari detik ke menit disepanjang masa penindasan para penjajah. Sangat kejam seperti bagaimana mereka memperlakukan shahd.
4 hari lalu sebuah bom menghujam dan meluluh lantahkan sederetan pemukiman tempat ini. Shahd saat itu sedang bermain. Ledakan itu membunuh shahd seketika. Namun saat ayahnya hendak mengambilnya, brondongan peluru menghujaninya dan ia pun tertembak di kepala dan dilarikan ke rumah sakit. Entah bagaimana keadaannya sekarang. Muhammad dan matar lebih memilih bertahan disini. Semua orang sudah mengungsi menyelamatkan diri dan hanya kami yang tersisa. Aku, seorang wartawan yang terjebak dipeperangan yang tak kenal etika, dua orang bocah berusia 14 dan 12 tahun, jasad tak terselamatkan dan sungguh miris, dihari kedua para tentara itu melepas kan anjing mereka, yang mulai mencabik-cabik jenazah shahd. Mereka  menyaksikan saudari kecil mereka tergeletak tak bernyawa dan berhari-hari menjadi santapan anjing. Sungguh aku berkali-kali meliput didaerah konflik dan kekejaman tak berotak sudah pasti ada. yang pasti tidak akan ada adalah kemanusiaan dan hati nurani. sungguh kebiadaban tak pernah mengenal batas namun sungguh, aku tidak pernah ingin menyaksikan kekejaman seperti ini, seperti gadis kecil yang tak berdosa itu. Entah hingga hari ke 4 ini, bagian tubuh yang mana yang masih tersisa dari jasad mungilnya. Berhari-hari kami bertiga tak sanggup berbuat apa-apa. Tak sanggup.
Ini sebuah negeri bernama palestina
Palestina, negeri yang berbekalkan doa, batu, dan air mata. Anak-anak ini mengukir sejarah negerinya dengan darah. Sebuah negeri persinggahan sang Nabi, negeri para pejuang, negeri para penyair syuhada. Kekejaman yang kan pasti berakhir dengan kemenangan islam ini suatu saat nanti sedang menyusun cerita-cerita perih untuk dikenang sejarah. Kekejaman yang juga sering dilupakan dunia, entah apa yang orang lain diluar sana katakan namun inilah yang kulihat. Resolusi PBB tak lebih dari pada kamuflase pembantaian. Yang aku tahu disini, dari apa yang aku lihat sendiri perang itu tak pernah ada estetika. Entah mereka itu hammas, atau sipil, entah wanita atau bahkan anak-anak tak berdosa, mereka tak lebih dari binatang bagi tentara israel dan tanpa beban, mereka semua dibantai tentara yahudi tanpa pandang buluh. Bagi mereka para laknat zionis tangisan bayi palestina itu tidak ada arti apa-apa.
 “Assalamualaikum.” Seorang pria datang menghampiri kami. omar zayda, tetangga Muhammad dan matar. “Aku baru pulang dari rumah sakit. Muhammad, matar, bersyukurlah, ayah kalian telah menjadi menjadi bagian dari para syuhada.”
Muhammad dan matar sontak menangis mendengar kabar yang dibawa omar zayda. Ayah mereka meninggal setelah kritis 4 hari dirumah sakit akibat peluru yang bersarang di kepalanya. Tentang ibu, mereka tak kalah memiliki kisah yang jauh lebih pilu, Fatimah menghilang tanpa kabar saat berbelanja. Kabar terakhir yang beredar, tentara Israel melakukan penculikan besar-besaran terhadap warga sipil diwilayah tepi barat dan kabarnya pula, mereka yang diculik dibantai di suatu tempat. Menteri pertahanan ehud barak boleh berkilah namun sejumlah fakta dan bukti kian menyibak pelanggaran ham yang para kaum dajjal itu lakukan.
Muhammad dan matar terus larut dalam kesedihan. Omar datang dengan maksud mengajak kedua bocah itu untuk mengungsi, namun lagi-lagi mereka menolak. Kematian ayah mereka kian membakar nyali. Air mata yang tak diusap itu kini bercampur amarah, kedua bocah itu saling tatap, memberi isyarat dan mereka berdua sepaham. Dengan cepat ku mengerti maksud konyol mereka. Tak berapa lama kemudian
“Jangan!” Aku berteriak kencang, mencoba menghentikan kedua bocah yang bermaksud berlari keluar dari persembunyian ini. Tak lain untuk mengambil jasad adik mereka. Beruntung omar juga sudah memperhatikan sejak tadi, Ia menghadang di pintu dan menghentikan kedua bocah bertubuh kecil itu. Muhammad dan matar berhasil kami kendalikan, dan kami terpaksa mengikat dua anak yang baru saja hendak menyongsong syuhada itu agar tidak berkelakuan konyol lagi. Sekarang tinggal memikirkan bagaimana cara untuk pergi dari sini. Kami baru bisa beranjak menjelang fajar, karena selain di waktu itu, kami juga akan menjadi santapan empuk penembak jitu.  “Omar, kamu tahu apa yang terjadi pada adik kecil mereka…?”
“Tentu, shahd bukan yang pertama, sudah banyak anak-anak tak berdosa palestina yang mereka jadikan makanan anjing-anjing mereka. Kau tidak perlu heran.”  Jawab omar
“Lalu siapa yang yang akan menjaga matar dan dan Muhammad?”
“Lalu siapa yang menurutmu menjaga para anak yatim di penjuru gaza ini dan siapa yang akan menjaga calon-calon yatim berikutnya?”  demikian jawaban omar berikutnya.Sudah pasti, semua akan kebingungan mencari siapa yang akan merawat anak  yatim yang bertambah setiap harinya. Tapi sangatlah bersyukur, negeri ini adalah buminya para anak-anak penggila syahid. Tidak peduli akan kematian karena itu masalah waktu dan rahasia Allah. Dan ditanah perjuangan ini, syahid lah yang menjadi pilihan. Mereka terbiasa dengan lesatan peluru, mereka lawan dengan semangat batu kerikil yang mereka lesatkan dengan ketapel. Ketika dentuman ledakan menggegerkan seluruh penjuru, maka langkah kaki mereka akan berlarian dan melemparkan bebatuan dibarisan intifada. Mereka adalah penikmat peluru yang mengukir sejarah negeri mereka, dengan darah.
Pukul 02:15 waktu jalur gaza, aku sudah semakin lelah. Hampir 5 hari aku tidak tidur secara normal karena harus menjaga muhammad dan matar agar mereka tidak menggila disaat seperti ini. Dalam keadaan terikat mereka tertidur lelah. Apakah dalam lelahnya mereka bermimpi?, jika iya kuberharap mereka bermimpi tentang sebuah tanah merdeka.
“Kau tidur saja, anak-anak ini tidak mungkin berbuat macam-macam. Kita akan bergerak sebelum subuh.” Omar tahu kalau aku kelelahan. Aku rasa tidak apa-apa jika aku tidur se-jam atau dua jam. Lagi pula kedua anak itu sudah kami amankan, kami tinggal menunggu fajar saja untuk bergerak. Kuberharap ada kisah dihari berikutnya yang lebih baik untuk kedua anak yatim piatu ini. Aku sangat kelelahan, demam dan lemah tubuh ini sudah ku abaikan berhari-hari sejak disini. Aku harus manfaatkan kesempatan istirahat ini.  Aku dan omar akan bergantian untuk berjaga-jaga.
///////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////
“JGEERRRZ……..!” Sebuah bunyi ledakan, sangat keras dan sangat dekat hingga membangunkanku. Aku sangat kaget. pukul 03:15 waktu jalur gaza, aku baru tertidur satu jam dan harusnya masih ada satu jam lagi sebelum kami beranjak. Tapi ledakan itu sudah membuatku terbangun lagi dan saat aku tersadar, ku melihat omar sepertinya juga telah terbangun. Tentu, siapa saja pasti akan terkejut dan terbangun saat ledakan yang sepertinya hanya berjarak kurang dari 50 meter itu menggelegar.
“Omar, mana Muhammad dan matar?” Mereka tidak berada ditempatnya, namun tali yang mengikat mereka ada disana.
“Kita kecolongan, mereka melepaskan diri saat kita tidur. Bahkan mereka rupanya telah mengusik tentara yahudi itu,” ujar omar.
“Lalu kemana mereka?” Omar tidak menjawab, hanya saja matanya terus melihat kedepan, dan ternyata, Muhammad dan matar. Sekarang mereka ada di depan sana. Sudah berada di antara jasad shahd dan incaran sneper. Kedua anak itu berlindung di reruntuhan salah satu rumah sementara peluru terus saja dimuntahkan dari laras senjata para tentara itu. Mereka hendak mengintimidasi anak-anak itu agar keluar dari persembunyian rudal dan granat pun silih berganti menghujani tanah-tanah negeri palestina. Namun kedua anak itu tetap disana dan bagaimana pun mereka akan menjemput adik mereka, menjemput sisa-sisa jasad shahd.
Sungguh diluar pri kemanusiaan. Hanya untuk dua anak kecil itu saja, mereka harus menggunakan rudal yang mampu meluluh lantahkan tank berlapis baja. Ledakan dan ledakan terus saling bersahutan hingga memasuki adzan subuh. Namun tak juga mengendur serangan para tentara itu. Aku dan omar bergantian sholat untuk mengawasi terus Muhammad dan matar disana, hingga mentari terbit, ketegangan ini masih terus berlangsung, entah sampai kapan.
Mentari terbit, kami gagal beranjak dari tempat ini di hari kelima. Muhammad dan matar masih berlindung disana, sementara berondongan peluru penembak jitu masih terus mengintai. Ya Allah, apa  yang akan terjadi. Aku terus menatap kearah Muhammad dari kejauhan 30 meter saja ini. Ia melihat ku, kami saling tatap. Ku memberi isyarat padanya untuk kembali, namun ia membalas dengan gelengan pasti, bahwa mereka akan menjemput shahd disana, sementara matar tak melepas kan pandangannya dari jasad shahd yang masih 20 meter dari posisinya. Aku dan omar tak kan mungkin akan sampai ke tempat dimana matar dan Muhammad berdiri dalam keadaan hidup. Sneper yahudi itu terlalu tangguh, mereka akan membidik dengan tepat di kepala sekalipun kami melaju diatas motor dengan kecepatan 50 km perjam. Apalagi kemungkinan mereka berada dalam radius yang tidak lebih dari 100 meter. Kami akan  sangat menyia-nyiakan nyawa kami yang sudah sangat terancam ini.
Pukul 06.23 waktu palestina;  
Brondongan peluru dan hujaman bom sudah berhenti, sektar 13 menit yang lalu, namun kami masih saja dalam ancaman. Para penembak jitu itu masih tetap mengintai sementara anak-anak kecil seperti Muhammad dan matar akan serta merta menganggap ini kesempatan yang tepat untuk beraksi, ku berharap kedua bocah itu jauh lebih bijaksana dari yang kufikirkan namun aku salah. Entah ini kah yang disebut ceroboh atau semangat jihad para jundi-jundi kecil. Muhammad dan matar, berlari menuju jenazah shahd dengan sisa tenaga mereka.
Penantian 5 hari ini berbuah hasil mereka sampai dihadapan shahd, di hadapan jasad shahd, dihadapan sisa-sisa jasad shahd.  Mereka terhenti, sungguh hancur hati kedua anak itu saat mendapati keadaan sikecil shahd dalam kondisi mengenaskan. Sangat kejam untuk ku gambarkankan, namun dari zoom kamera ku sangat terlihat jelas. Bagaimana aku bisa menggambarkan kekejaman ini?, shahd hanya  tersisa sebagian tubuhnya karena sebagian tubuh yang lain telah menjadi lalapan anjing-anjing yang di lepas oleh tentara yahudi. Kaki kiri anak itu benar-benar habis tak bersisa sementara yang kanan tinggal tulang saja. Dan anggota tubuh yang lain juga bernasip tak kalah keji. Muhammad dan matar berdiri menatap jenazah shahd antara tangis dan dendam. Menyaksikan adik kecil mereka yang sangat mereka sayangi berasip begitu malang.
“Dor!!!!!!” Muncung m85 barret kembali bernyanyi, sesuai reputasi senjata dan kelihaian snepermaka tak diragukan lagi, ia akan menbidik tepat pada target. Namun kali ini, target senjata canggih itu adalah matar, ia jatuh berlutut, sambil menatap Muhammad yang kaget dan tak berkedip sedikitpun menyaksikan kakaknya merenggang nyawa, peluru sepanjang 10 cm itu bersarang tepat dijantungnya. Muhammad hanya punya belasan detik nyawa. Dan 5 detik pertama itu ia gunakan untuk menyerahkan batu yang ada ditangannya kepada Muhammad untuk melanjutkan perjuangan. Melesatkan sisa perjuangan sang kakak melalui batu terakhir yang ia wariskan. 5 detik berikutnya ia merangkak mendekati jenazah shahd. sungguh ketika ku menyaksikan melalui  kameraku ini, mengharukan. Ini memilukan, dan dengan masih berlutut, matar, melalui kamera ini kusaksikan mulutnya tengah melafalkan sesuatu sambil tersenyum sambil kesakitan, lafal yang anak-anak palestina ucap disisa nyawanya. Lantunan yang terindah para penyair syuhada. kalimat yang ia yakini penuh dan aku sangat yakin dan tau persis apa yang ia ucapkan .
“LA ILA HA ILLA LLAH.”
Matar tak bergerak, ia tewas sambil berlutut dihadapan sisa-sisa jasad shahd. Dia tak kalah hingga harus mati. kali ini yahudi tak sanggup merobohkan seorang jundi palestina sampai ia pun mati dengan keadaan berlutut dihadapan shahd. Dan Muhammad, melanjutkan impian-impian penjuru negerinya, dengan batu yang diwariskan semangat sang kakak, ia berbalik karena sudah tahu persis dimana posisi penembak jitu. Dia berlari untuk ancang-ancang dan setelah 10 meter batu yang ia genggam dilesatkan dengan tenaga seorang bocah 12 tahun namun dengan semangat seorang generasi perang badar. dengan segenap impian penjuru palestina, dan dengan sebuah teriakan tentang mimpi, sambil melempar batu itu ia teriakan.
“ALLAHUAKBAR!”
Demikian batu pertama dan terakhir muhammad di perjuangan hari ini. Diperjuangan detik-detik terakhirnya karena setelah batu itu, ia di balas dengan brondongan peluru. Lebih dari 5 peluru. Dan ia tersungkur. namun masih ada sisa nyawa bersemayam dan Muhammad merayap merangkak menuju kedua saudaranya yang lebih dulu syuhada tapi ia tak kuat lagi dan berhenti. Ia syuhada bersama ke dua saudaranya. Hari ini, mereka menyusul  para syuhada cilik pelestina yang lain,menuju tempat ya dijanjikan.
Hingga ini kucerita kan, doa mereka terus berkumandang pilu.  Merindukan kebebasan dan kemerdekaan dari sebuah negeri anbiya, negeri impian. Sebuah kisah anak-anak di barisan depan perlawanan. Anak-anak yang berbekalkan do’a, batu dan air mata, mereka mengukir sejarah negerinya dengan darah.

(diangkat dari kisah nyata, dari saudara-saudara disana)
Oleh : saiful

2 komentar:

  1. Pening ngebacanya, gak sampe habis.
    EYDnya udah lebih lumayan lah daripada yg sebelum2nya. meski masih ada kesalahan disana sini.
    terus belajar yo pul.
    saya gak akan komen ttg isi, karna biasanya isi cerita lo bagus2. cuma masalah di penulisan aja. ehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. i know, aku luar biasa sola fantasi, tapi kacau soal aturan :P

      Hapus